PEMBAHASAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DALAM GERAK PELAKSANAANNYA
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu. Yang pertama antara tahun 1945 sampai tanggal 27 Desember 1949, yaitu sejak ditetapkannya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan mulai berlakunya Konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan dalam bulan Desember 1949. Yang kedua adalah dalam kurun waktu sejak tahun 1959 sampai sekarang, yaitu sejak diumumkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Dalam kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu, kita telah dapat mencatat dan menarik pengalaman-pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar 1945 itu, termasuk juga penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Dalam kurun waktu 1945-1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena kita memang sedang dalam pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja kita proklamasikan, sedangkan pihak kolonialis Belanda justru ingin menjajah kembali bekas jajahannya yang telah merdeka itu. Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan Perang Kemerdekaan.
Sistem Pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat Anggota DPA Sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk. Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV yang menyatakan bahwa: ’’Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional ”.
Namun ada satu penyimpangan konstitusional yang prinsipiil yang dapat dicatat dalam kurun waktu 1945-1949 itu, ialah perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer.
Berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 11 Nopember 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, sistem Kabinet Presidensial tersebut diganti dengan sistem Kabinet Parlementer.
Sejak saat itu kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri sebagai anggota Kabinet.
Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, Perdana Menteri dan para Menteri bertanggung jawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR, tidak bertanggung jawab kepada Presiden Seperti yang dikehendaki oleh sistem Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penyimpangan sistem ini jelas pengaruhnya terhadap stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan.
Syukur alhamdulillah bahwa berkat kebulatan tekad seluruh rakyat waktu itu untuk terus berjuang menegakkan kemerdekaan, maka dengan naungan Undang-Undang Dasar 1945 meskipun telah terjadi penyimpangan terhadapnya akhirnya bangsa Indonesia dapat memenangkan Perang Kemerdekaan itu.
Akhirnya Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun kita, pihak "Republik Proklamasi” terpaksa menerima berdirinya Negara Indonesia yang lain dari yang kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan didirikan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang kita tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan pada konstitusi RIS. Undang-Undang Dasar 1945 berlaku hanya di Negara Bagian RI yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan Ibukota Yogyakarta.
Untunglah negara federasi RIS ini hanya berlangsung sangat sementara. Berkat kesadaran para pemimpin RIS dengan dipelopori oleh pimpinan-pimpinan yang "republikan”, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, negara federasi RIS kembali menjadi Negara Kesatuan RI, tetapi dengan landasan Undang-Undang Dasar yang lain dari Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara yang diberi nama Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950). Menurut Undang-Undang Dasar ini sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem Kabinet Presidensial. Menurut sistem Pemerintahan Parlementer itu maka Presiden dan Wakil Presiden adalah sekedar Presiden konstitusional dan "tidak dapat diganggu gugat”. Yang bertanggung jawab adalah para Menteri, ialah bertanggung jawab kepada Parlemen.
Penentuan sistem yang demikian ini sebenarnya bersumber pada landasan pemikiran yang lain dari yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang menganut sistem Parlementer berpijak pada landasan pemikiran demokrasi liberal yang mengutamakan pada kebebasan individu, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut sistem Presidensial berpijak pada landasan Demokrasi Pancasila, yang berintikan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, di mana Presiden bertanggung jawab kepada pemberi mandat, MPR, tidak kepada Parlemen.
Dalam kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu, kita telah dapat mencatat dan menarik pengalaman-pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar 1945 itu, termasuk juga penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Dalam kurun waktu 1945-1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena kita memang sedang dalam pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja kita proklamasikan, sedangkan pihak kolonialis Belanda justru ingin menjajah kembali bekas jajahannya yang telah merdeka itu. Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan Perang Kemerdekaan.
Sistem Pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat Anggota DPA Sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk. Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV yang menyatakan bahwa: ’’Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional ”.
Namun ada satu penyimpangan konstitusional yang prinsipiil yang dapat dicatat dalam kurun waktu 1945-1949 itu, ialah perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer.
Berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 11 Nopember 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, sistem Kabinet Presidensial tersebut diganti dengan sistem Kabinet Parlementer.
Sejak saat itu kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri sebagai anggota Kabinet.
Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, Perdana Menteri dan para Menteri bertanggung jawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR, tidak bertanggung jawab kepada Presiden Seperti yang dikehendaki oleh sistem Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penyimpangan sistem ini jelas pengaruhnya terhadap stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan.
Syukur alhamdulillah bahwa berkat kebulatan tekad seluruh rakyat waktu itu untuk terus berjuang menegakkan kemerdekaan, maka dengan naungan Undang-Undang Dasar 1945 meskipun telah terjadi penyimpangan terhadapnya akhirnya bangsa Indonesia dapat memenangkan Perang Kemerdekaan itu.
Akhirnya Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun kita, pihak "Republik Proklamasi” terpaksa menerima berdirinya Negara Indonesia yang lain dari yang kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan didirikan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang kita tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan pada konstitusi RIS. Undang-Undang Dasar 1945 berlaku hanya di Negara Bagian RI yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan Ibukota Yogyakarta.
Untunglah negara federasi RIS ini hanya berlangsung sangat sementara. Berkat kesadaran para pemimpin RIS dengan dipelopori oleh pimpinan-pimpinan yang "republikan”, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, negara federasi RIS kembali menjadi Negara Kesatuan RI, tetapi dengan landasan Undang-Undang Dasar yang lain dari Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara yang diberi nama Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950). Menurut Undang-Undang Dasar ini sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem Kabinet Presidensial. Menurut sistem Pemerintahan Parlementer itu maka Presiden dan Wakil Presiden adalah sekedar Presiden konstitusional dan "tidak dapat diganggu gugat”. Yang bertanggung jawab adalah para Menteri, ialah bertanggung jawab kepada Parlemen.
Penentuan sistem yang demikian ini sebenarnya bersumber pada landasan pemikiran yang lain dari yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang menganut sistem Parlementer berpijak pada landasan pemikiran demokrasi liberal yang mengutamakan pada kebebasan individu, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut sistem Presidensial berpijak pada landasan Demokrasi Pancasila, yang berintikan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, di mana Presiden bertanggung jawab kepada pemberi mandat, MPR, tidak kepada Parlemen.
Pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan akibat-akibatnya jelas telah kita saksikan bersama, berupa kekacauan-kekacauan, baik di bidang politik, keamanan maupun ekonomi.
Konstituante yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 bertugas menyusun Undang-Undang Dasar yang tetap ternyata telah mengalami kemacetan total dan bahkan mempunyai akibat yang sangat membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Maka dengan dasar alasan yang kuat dan dengan dukungan dari sebagian terbesar rakyat Indonesia dikeluarkanlah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Diktum Dekrit Presiden itu adalah:
- Menetapkan pembubaran Konstituante;
- Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950;
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Jadi sejak 5 Juli 1959 itu berlaku kembali Undang-Undang Dasar 1945 sampai sekarang. Dalam kurun waktu hingga saat ini makin banyaklah pengalaman kita dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila kita mengadakan pengkajian dan perbandingan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kurun waktu antara 1959-1965 (Orde Lama) dan kurun waktu antara 1966 sampai sekarang (Orde Baru) maka jelas tampak dan terasa kemajuan-kemajuan yang telah kita capai dalam mengusahakan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Dalam Orde Lama, Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK belum dibentuk berdasarkan Undang-undang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya lembaga-lembaga tersebut masih dalam bentuk sementara. Belum lagi jika kita kupas mengenai berfungsinya lembaga- lembaga tersebut sesuai atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam masa Orde Lama itu Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk-produk legislatif yang mestinya berbentuk Undang-undang (artinya dengan persetujuan DPR) dalam bentuk Penetapan Presiden tanpa persetujuan DPR. MPRS telah mengambil keputusan untuk mengangkat seseorang sebagai Presiden seumur hidup, yang jelas bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan masa jabatan Presiden lima tahun.
Hak budget DPR tidak berjalan, karena Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahkan dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu membubarkan DPR.
Itulah beberapa kasus penyimpangan yang serius terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Penyimpangan-penyimpangan ini jelas bukan saja telah mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkan ternyata telah mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamanan serta kemerosotan di bidang ekonomi, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang gagal oleh G-30-S PKI.
Pemberontakan G-30-S PKI yang dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat, telah mendorong lahirnya Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen.
Dengan gagalnya perebutan kekuasaan oleh G-30-S PKI itu telah dapat diungkapkan dan dibuktikan baik melalui sidang-sidang pengadilan maupun bahan-bahan keterangan lainnya bahwa PKI-lah yang mendalangi secara sadar dan terencana coup d’etat itu. Perbuatan jahat tersebut bukan saja telah menimbulkan korban jiwa dan benda yang cukup besar, bukan saja bertentangan dan melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar dan hukum yang berlaku, tetapi jelas mempunyai tujuan untuk mengganti dasar falsafah negara Pancasila dengan dasar falsafah yang lain.
Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, PKI telah dua kali mengkhianati negara, bangsa dan dasar negara yang sama-sama kita cintai dan kita agungkan bersama. Atas dasar itulah maka rakyat menghendaki dan menuntut dibubarkannya PKI. Namun Pimpinan Negara waktu itu, tidak mau mendengarkan dan tidak mau memenuhi tuntutan rakyat, sehingga timbullah apa yang disebut ’’situasi konflik” antara rakyat disatu pihak dan Presiden dilain fihak. Keadaan semakin meruncing, keadaan ekonomi dan keamanan makin tidak terkendalikan.
Dengan dipelopori oleh pemuda/mahasiswa, rakyat menyampaikan ’Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA),yaitu:
Dalam Orde Lama, Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK belum dibentuk berdasarkan Undang-undang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya lembaga-lembaga tersebut masih dalam bentuk sementara. Belum lagi jika kita kupas mengenai berfungsinya lembaga- lembaga tersebut sesuai atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam masa Orde Lama itu Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk-produk legislatif yang mestinya berbentuk Undang-undang (artinya dengan persetujuan DPR) dalam bentuk Penetapan Presiden tanpa persetujuan DPR. MPRS telah mengambil keputusan untuk mengangkat seseorang sebagai Presiden seumur hidup, yang jelas bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan masa jabatan Presiden lima tahun.
Hak budget DPR tidak berjalan, karena Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahkan dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu membubarkan DPR.
Itulah beberapa kasus penyimpangan yang serius terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Penyimpangan-penyimpangan ini jelas bukan saja telah mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkan ternyata telah mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamanan serta kemerosotan di bidang ekonomi, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang gagal oleh G-30-S PKI.
Pemberontakan G-30-S PKI yang dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat, telah mendorong lahirnya Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen.
Dengan gagalnya perebutan kekuasaan oleh G-30-S PKI itu telah dapat diungkapkan dan dibuktikan baik melalui sidang-sidang pengadilan maupun bahan-bahan keterangan lainnya bahwa PKI-lah yang mendalangi secara sadar dan terencana coup d’etat itu. Perbuatan jahat tersebut bukan saja telah menimbulkan korban jiwa dan benda yang cukup besar, bukan saja bertentangan dan melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar dan hukum yang berlaku, tetapi jelas mempunyai tujuan untuk mengganti dasar falsafah negara Pancasila dengan dasar falsafah yang lain.
Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, PKI telah dua kali mengkhianati negara, bangsa dan dasar negara yang sama-sama kita cintai dan kita agungkan bersama. Atas dasar itulah maka rakyat menghendaki dan menuntut dibubarkannya PKI. Namun Pimpinan Negara waktu itu, tidak mau mendengarkan dan tidak mau memenuhi tuntutan rakyat, sehingga timbullah apa yang disebut ’’situasi konflik” antara rakyat disatu pihak dan Presiden dilain fihak. Keadaan semakin meruncing, keadaan ekonomi dan keamanan makin tidak terkendalikan.
Dengan dipelopori oleh pemuda/mahasiswa, rakyat menyampaikan ’Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA),yaitu:
- Bubarkan PKI;
- Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur PKI;
- Turunkan harga-harga/perbaikan ekonomi.
Gerakan memperjuangkan TRITURA ini makin hari makin meningkat sehingga Pemerintah dalam hal ini Presiden waktu itu boleh dikatakan tidak dapat menguasai keadaan lagi. Dalam situasi yang demikian itulah pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden mengeluarkan Surat Perintah kepada Letnan Jenderal TNI Soeharto, Menteri/ Panglima Angkatan Darat yang intinya memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan, lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) ini dianggap oleh rakyat sebagai lahirnya ORDE BARU.
Dengan berlandaskan kepada Supersemar itu, pengemban Supersemar telah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang ditanggapi dan disambut dengan penuh kelegaan oleh seluruh rakyat. Dan dengan semangat Supersemar itu pula Orde Baru mengambil langkah-langkah koreksi dengan cara-cara yang konstitusional, terutama dalam menegakkan, mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen.
Sungguh telah banyak langkah-langkah yang dilakukan dan berhasil dilakukan oleh Orde Baru dalam rangka menegakkan Undang-Undang Dasar 1945 selama ini.
Orde Baru telah berhasil menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan koreksi-koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan, kekacauan-kekacauan dan keadaan-keadaan buruk diberbagai bidang selama Orde Lama melalui cara-cara yang konstitusional, artinya melalui Sidang-sidang MPR, yaitu Sidang Umum MPR (S) ke IV tahun 1966 dan Sidang Istimewa tahun 1967.
Sejumlah Ketetapan yang bersifat prinsipiil telah dihasilkan dalam Sidang Umum MPR (S) ke IV tahun 1966 itu, seperti : TAP 1X/MPRS/1966 yang mengukuhkan Supersemar, TAP XXV/MPRS/1966 mengenai pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, (semacam pengukuhan keputusan Pengemban Supersemar), TAP XII/MPRS/1966 tentang pembaharuan landasan politik luar negeri, TAP XXIII/MPRS/1966 tentang pembaharuan landasan di bidang ekonomi dan pembangunan, TAP XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI dan sejumlah TAP-TAP lainnya yang menyangkut atau berisi masalah-masalah yang sifatnya koreksi dan pembaharuan terhadap keadaan yang lama.
Sidang Istimewa MPR(S) tahun 1967 diadakan atas permintaan DPR yang menganggap bahwa Presiden waktu itu telah dengan sungguh-sungguh melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian Sidang Istimewa MPR(S) telah memutuskan menarik kembali mandat MPR(S) dari Presiden Soekarno waktu itu, karena dianggap telah tidak dapat menjalankan haluan negara dan keputusan-keputusan Majelis sebagai layaknya, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian pada Sidang Umum MPR(S) tahun 1968, MPR(S) telah mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban TAP IX sebagai Presiden (tetap) sampai terpilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum.
Sejak itulah pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 diusahakan untuk dapat berlangsung sebaik-baiknya secara mumi dan konsekuen.
Dalam rangka ini diusahakan pembentukan kelembagaan negara MPR, DPR, DPA, BPK dan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga tersebut harus dilakukan dengan Undang-Undang. Karenanya Pemerintah bersama DPR berusaha keras dan berhasil dalam waktu yang ditentukan membuat Undang-Undangnya, yaitu:
Dengan berlandaskan kepada Supersemar itu, pengemban Supersemar telah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang ditanggapi dan disambut dengan penuh kelegaan oleh seluruh rakyat. Dan dengan semangat Supersemar itu pula Orde Baru mengambil langkah-langkah koreksi dengan cara-cara yang konstitusional, terutama dalam menegakkan, mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen.
Sungguh telah banyak langkah-langkah yang dilakukan dan berhasil dilakukan oleh Orde Baru dalam rangka menegakkan Undang-Undang Dasar 1945 selama ini.
Orde Baru telah berhasil menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan koreksi-koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan, kekacauan-kekacauan dan keadaan-keadaan buruk diberbagai bidang selama Orde Lama melalui cara-cara yang konstitusional, artinya melalui Sidang-sidang MPR, yaitu Sidang Umum MPR (S) ke IV tahun 1966 dan Sidang Istimewa tahun 1967.
Sejumlah Ketetapan yang bersifat prinsipiil telah dihasilkan dalam Sidang Umum MPR (S) ke IV tahun 1966 itu, seperti : TAP 1X/MPRS/1966 yang mengukuhkan Supersemar, TAP XXV/MPRS/1966 mengenai pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, (semacam pengukuhan keputusan Pengemban Supersemar), TAP XII/MPRS/1966 tentang pembaharuan landasan politik luar negeri, TAP XXIII/MPRS/1966 tentang pembaharuan landasan di bidang ekonomi dan pembangunan, TAP XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI dan sejumlah TAP-TAP lainnya yang menyangkut atau berisi masalah-masalah yang sifatnya koreksi dan pembaharuan terhadap keadaan yang lama.
Sidang Istimewa MPR(S) tahun 1967 diadakan atas permintaan DPR yang menganggap bahwa Presiden waktu itu telah dengan sungguh-sungguh melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian Sidang Istimewa MPR(S) telah memutuskan menarik kembali mandat MPR(S) dari Presiden Soekarno waktu itu, karena dianggap telah tidak dapat menjalankan haluan negara dan keputusan-keputusan Majelis sebagai layaknya, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian pada Sidang Umum MPR(S) tahun 1968, MPR(S) telah mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban TAP IX sebagai Presiden (tetap) sampai terpilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum.
Sejak itulah pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 diusahakan untuk dapat berlangsung sebaik-baiknya secara mumi dan konsekuen.
Dalam rangka ini diusahakan pembentukan kelembagaan negara MPR, DPR, DPA, BPK dan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga tersebut harus dilakukan dengan Undang-Undang. Karenanya Pemerintah bersama DPR berusaha keras dan berhasil dalam waktu yang ditentukan membuat Undang-Undangnya, yaitu:
- Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1975;
- Undang-undang No. 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, yang kemudian dirubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1978;
- Undang-undang No. 5 Tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan;
- Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No. 13 Tahun 1965, yang menjadi landasan kerja bagi Mahkamah Agung dan Badan-Badan Peradilan lainnya.
Sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, maka penyusunan/ pembentukan badan-badan perwakilan rakyat seperti DPR-RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II harus dilakukan melalui pemilihan umum. Undang-undang Pemilihan Umum itu juga telah dapat dihasilkan. Berdasarkan Undang-undang Pemilihan Umum tadi telah diadakan pemilihan umum pada tahun 1971 (yang pertama dalam Orde Baru), untuk memilih anggota-anggota DPR-RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II.
Dengan hasil pemilihan umum tahun 1971 itu terbentuklah DPR-RI, DPRD tingkat 1 dan 11. Dan dengan terbentuknya DPR-RI. DPRD tingkat 1 dan DPRD tingkat II itu terbentuklah MPR pada tahun 1972,yang anggota-anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR hasil Pemilihan Umum,utusan-utusan daerah yang dipilih oleh DPRD tingkat I dan utusan-utusan golongan-golongan, baik dari ABRI maupun non ABRI yang mewakili berbagai golongan fungsional, termasuk koperasi dan organisasi yang berkecimpung di bidang ekonomi, seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945.
MPR hasil Pemilu tahun 1971 itu telah mengadakan Sidang Umumnya pada tahun 1973 dan telah berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan baik yaitu: membuat GBHN tahun 1973-1978 dan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun.
Demikian pula DPA telah dibentuk berdasarkan Undang-undang DPA yang pertama kali pada tahun 1967 sebagai badan pertimbangan Presiden yang (sesuai dengan undang-undangnya) mempunyai masa jabatan sama dengan masa jabatan Presiden. BPK akhirnya pada tahun 1973 telah dapat dibentuk berdasarkan Undang-undang BPK yang dihasilkan pada tahun 1973 itu.
Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang lain, yang juga diusahakan berjalan sebaik-baiknya adalah menyangkut anggaran pendapatan dan belanja negara. Orde Baru sudah sejak 1967 melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 itu, dan telah berlaku setiap tahun sampai sekarang. Mungkin telah dapat dianggap sebagai konvensi (hukum dasar tidak tertulis, sebagai pelengkap Undang-Undang Dasar) bahwa RAPBN itu diajukan oleh pemerintah kepada DPR pada permulaan bulan Januari, tiga bulan sebelum berlakunya tahun anggaran baru. Dan DPR telah dapat menyelesaikan tugasnya satu bulan sebelum mulainya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam bidang kegiatan legislatif (pembentukan Undang-undang) juga telah berjalan dengan baik melalui ’"partnership” yang lugas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan dan scmangat Undang-Undang Dasar 1945.
Dewan Perwakilan Rakyat ternyata telah dapat berfungsi dengan intensif dan efektif, baik dalam melaksanakan kekuasaan legislatifnya maupun hak bud getnya. DPR yang menurut ketentuan Undang-Undang Dasar bersidang sedikit- nya sekali dalam satu tahun, ternyata telah menggunakan waktunya hampir seluruh tahun (empat kali masa sidang dalam setahun) untuk persidangan.
Dalam hubungan ini dapat dicatat juga bahwa selama Orde Baru ini telah banyak dihasilkan Undang-undang dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping Undang-undang mengenai Lembaga-lembaga Negara seperti yang telah disebutkan tadi, dapat dikemukakan misalnya Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya dan Undang-undang Pokok Pers sebagai pelaksanaan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Demikian jug? Undang-undang mengenai Pemerintahan di daerah. Undang-undang Pokok Kesejahteraan Sosial, Undang-undang Perkawinan dan lain-lain adalah pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Tentu masih banyak lagi yang harus kita garap dan diselesaikan undang-undangnya.
Namun selama Orde Baru ini baik Pemerintah maupun DPR telah melaksanakan fungsinya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Dasar itu selama Orde Baru ini telah mulai terbina dan terpelihara dengan baik. Mekanisme Kepemimpinan Nasional yang lima tahunan telah dapat berjalan dengan baik.
Mekanisme lima tahunan itu secara garis besar meliputi kegiatan-kegiatan kenegaraan sebagai berikut:
1. MPR yang terdiri dari seluruh anggota DPR, utusan-utusan daerah dan golongan-golongan sebagai hasil Pemilu berdasarkan Undang-undang, mengadakan Sidang Umum sekali dalam lima tahun (demikian juga Pemilu diadakan sekali dalam lima tahun).
2. Dalam Sidang Umum tersebut, MPR melaksanakan tugasnya:
Dengan hasil pemilihan umum tahun 1971 itu terbentuklah DPR-RI, DPRD tingkat 1 dan 11. Dan dengan terbentuknya DPR-RI. DPRD tingkat 1 dan DPRD tingkat II itu terbentuklah MPR pada tahun 1972,yang anggota-anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR hasil Pemilihan Umum,utusan-utusan daerah yang dipilih oleh DPRD tingkat I dan utusan-utusan golongan-golongan, baik dari ABRI maupun non ABRI yang mewakili berbagai golongan fungsional, termasuk koperasi dan organisasi yang berkecimpung di bidang ekonomi, seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945.
MPR hasil Pemilu tahun 1971 itu telah mengadakan Sidang Umumnya pada tahun 1973 dan telah berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan baik yaitu: membuat GBHN tahun 1973-1978 dan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun.
Demikian pula DPA telah dibentuk berdasarkan Undang-undang DPA yang pertama kali pada tahun 1967 sebagai badan pertimbangan Presiden yang (sesuai dengan undang-undangnya) mempunyai masa jabatan sama dengan masa jabatan Presiden. BPK akhirnya pada tahun 1973 telah dapat dibentuk berdasarkan Undang-undang BPK yang dihasilkan pada tahun 1973 itu.
Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang lain, yang juga diusahakan berjalan sebaik-baiknya adalah menyangkut anggaran pendapatan dan belanja negara. Orde Baru sudah sejak 1967 melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 itu, dan telah berlaku setiap tahun sampai sekarang. Mungkin telah dapat dianggap sebagai konvensi (hukum dasar tidak tertulis, sebagai pelengkap Undang-Undang Dasar) bahwa RAPBN itu diajukan oleh pemerintah kepada DPR pada permulaan bulan Januari, tiga bulan sebelum berlakunya tahun anggaran baru. Dan DPR telah dapat menyelesaikan tugasnya satu bulan sebelum mulainya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam bidang kegiatan legislatif (pembentukan Undang-undang) juga telah berjalan dengan baik melalui ’"partnership” yang lugas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan dan scmangat Undang-Undang Dasar 1945.
Dewan Perwakilan Rakyat ternyata telah dapat berfungsi dengan intensif dan efektif, baik dalam melaksanakan kekuasaan legislatifnya maupun hak bud getnya. DPR yang menurut ketentuan Undang-Undang Dasar bersidang sedikit- nya sekali dalam satu tahun, ternyata telah menggunakan waktunya hampir seluruh tahun (empat kali masa sidang dalam setahun) untuk persidangan.
Dalam hubungan ini dapat dicatat juga bahwa selama Orde Baru ini telah banyak dihasilkan Undang-undang dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping Undang-undang mengenai Lembaga-lembaga Negara seperti yang telah disebutkan tadi, dapat dikemukakan misalnya Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya dan Undang-undang Pokok Pers sebagai pelaksanaan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Demikian jug? Undang-undang mengenai Pemerintahan di daerah. Undang-undang Pokok Kesejahteraan Sosial, Undang-undang Perkawinan dan lain-lain adalah pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Tentu masih banyak lagi yang harus kita garap dan diselesaikan undang-undangnya.
Namun selama Orde Baru ini baik Pemerintah maupun DPR telah melaksanakan fungsinya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Dasar itu selama Orde Baru ini telah mulai terbina dan terpelihara dengan baik. Mekanisme Kepemimpinan Nasional yang lima tahunan telah dapat berjalan dengan baik.
Mekanisme lima tahunan itu secara garis besar meliputi kegiatan-kegiatan kenegaraan sebagai berikut:
1. MPR yang terdiri dari seluruh anggota DPR, utusan-utusan daerah dan golongan-golongan sebagai hasil Pemilu berdasarkan Undang-undang, mengadakan Sidang Umum sekali dalam lima tahun (demikian juga Pemilu diadakan sekali dalam lima tahun).
2. Dalam Sidang Umum tersebut, MPR melaksanakan tugasnya:
- menetapkan GBHN;
- memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa lima tahun dengan tugas untuk melaksanakan GBHN yang ditetapkan oleh MPR.
3. Presiden/Mandataris MPR dengan dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri-menteri yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden, melaksanakan tugasnya berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN, yang akan dipertanggungjawabkan kepada Sidang Umum MPR oleh Presiden/Mandataris MPR pada akhir masa jabatannya.
4. Termasuk tugas-tugas Presiden/Mandataris MPR yang erat hubungannya dengan mekanisme ini adalah antara lain:
4. Termasuk tugas-tugas Presiden/Mandataris MPR yang erat hubungannya dengan mekanisme ini adalah antara lain:
- membentuk (mengangkat anggota-anggota) Lembaga Tinggi Negara DPA dan BPK sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang bersangkutan;
- melaksanakan Pemilu tepat pada waktunya untuk membentuk DPR dan MPR yang baru nanti;
- mengajukan APBN setiap tahun tepat pada waktunya dalam rang- ka melaksanakan GBHN. Sesuai GBHN, maka Presiden terpilih harus menyusun Repelita.
- membuat Undang-undang yang diperlukan dengan persetujuan DPR dalam rangka melaksanakan 'Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN; dan seterusnya.
5. DPR (setelah selesai Sidang Umum MPR) melaksanakan tugasnya mengawasi pelaksanaan tugas Presiden, baik melalui hak budgetnya menyetujui APBN setiap tahunnya, memberikan persetujuan atas RUU dan sarana-sarana pengawasan lainnya.
6. Demikian juga Lembaga-lembaga Negara lainnya melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang yang bersangkutan.
Dengan terlaksananya Pemilu tahun 1977 terbentuklah DPR dan MPR hasil Pemilu untuk yang kedua kalinya dalam masa Orde Baru. MPR hasil Pemilu telah bersidang dalam bulan Maret 1978 dan berhasil melaksanakan tugasnya membuat GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun yang akan datang.
Presiden terpilih dengan dibantu oleh Wakil Presiden dalam waktu yang singkat telah mengangkat pembantu-pembantunya yaitu para Menteri dan menetapkan program kerjanya untuk melaksanakan putusan-putusan MPR itu, GBHN dan keputusan-keputusan lainnya.
Demikian juga DPA dan BPK yang menurut undang-undangnya mempunyai masa jabatan lima tahun juga telah dibentuk (diangkat anggota-anggotanya) berdasarkan Undang-undangnya masing-masing.
Kemudian kegiatan penting dari Presiden/Mandataris (Pemerintah) yang baru adalah penyiapan Repelita sebagai pelaksanaan dari GBHN. Persiapan-persiapan lainnya yang perlu dilakukan dalam kaitan dengan mekanisme kepemimpinan nasional yang lima tahunan itu adalah penyelenggaraan Pemilu dalam tahun yang ditentukan, sebagai wahana demokrasi dalam membentuk lembaga-lembaga perwakilan/permusyawaratan rakyat : DPR dan MPR yang baru nanti.
Apabila mekanisme lima tahunan yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang yang berlaku itu dapat terus kita pelihara pelaksanaannya dengan lancar dan tertib, jelas akan memberikan sumbangan yang besar dalam usaha kita bersama untuk menegakkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 semurni-murninya dalam rangka membina kelestarian kehidupan bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 selama masa Orde Baru ini telah terjadi keputusan-keputusan ataupun langkah-langkah kenegaraan yang bersifat melengkapi atau mengembangkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Praktek kenegaraan yang baik dan konstruktif tentu dapat terus dipelihara dan dimantapkan agar menjadi hukum tidak tertulis (konvensi) ataupun mungkin dapat dikukuhkan menjadi salah satu Ketetapan MPR.
Ketetapan MPR tentang penentuan ’’tiga serangkai” Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan-Keamanan secara bersama-sama melakukan sebagai Pemangku Sementara Jabatan Presiden, sebelum MPR dapat memilih Presiden yang baru dalam keadaan Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, merupakan salah satu putusan MPR untuk melengkapi atau mengembangkan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan ini telah diputuskan oleh MPR, dalam Sidang MPR tahun 1973 dan tetap berlaku sampai sekarang.
Ada sejumlah langkah kenegaraan penting baik merupakan keputusan resmi (Ketetapan MPR) ataupun telah tetjadi dalam praktek yang dapat dicatat sebagai pelengkap atau pengembangan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya:
1. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat (bulat).
Salah satu ciri dari Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam hal ini jelas perlunya ada musyawarah dalam pengambilan keputusan. Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2 ayat (3)) menetapkan bahwa MPR mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, namun dalam praktek kenegaraan selama ini di bawah naungan Undang-Undang Dasar 1945 selalu diusahakan dan ternyata hampir selalu berhasil untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini telah dilakukan baik dalam sidang- sidang MPR maupun DPR. Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak artinya dengan pemungutan suara hanya dilakukan apabila usaha musyawarah untuk mencapai mufakat (bulat) ternyata tidak dapat dicapai, meskipun telah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Hal ini adalah suatu contoh praktek kenegaraan yang baik dan telah terpelihara selama ini.
2. Pidato Kenegaraan Presiden di depan sidang DPR setiap tanggal 16 Agustus bertepatan pula dengan permulaan masa sidang DPR yang berisi laporan pelaksanaan tugas Pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat dan arah kebijaksanaan ke depan.
3. Penyampaian pertanggungjawaban Presiden pada akhir masa jabatannya di depan sidang MPR yang telah berlangsung dua kali, serta penilaian MPR atas pertanggungjawaban tersebut.
4. Prakarsa Presiden untuk menyiapkan bahan-bahan GBHN jauh sebelum sidang MPR itu berlangsung, untuk disampaikan kepada MPR pada waktu peresmiannya, sehingga MPR dengan Badan Pekerjanya dapat membahasnya. memusyawarahkannya dan dapat mengambil keputusan tepat pada waktunya.
5. Ratifikasi perjanjian-perjanjian oleh DPR.
Menurut Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945. Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Namun, menurut praktek penyelenggaraannya yang telah berlangsung cukup lama, yang diajukan kepada DPR untuk mendapatkan ratifikasi hanyalah perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, seperti treaties dan agreements tertentu; selainnya diratifikasi dengan Keputusan Presiden.
Masih banyak contoh-contoh lain yang dapat dikemukakan sebagai praktek kenegaraan yang sifatnya melengkapi dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ini semua menunjukkan bahwa pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 yang singkat dan mengatur pokok-pokok itu telah memberikan keluwesan dan kelincahan, sehingga memperlancar pelaksanaannya dan mampu menampung persoalan-persoalan politik dan kenegaraan sesuai dengan kebutuhan.
Dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara mantap, maka dapatlah diciptakan stabilitas politik dan pemerintahan seperti yang dapat kita rasakan selama masa Orde Baru ini yang merupakan syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan bangsa dalam rangka mengisi kemerdekaan untuk mencapai cita-cita nasional, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Undang-Undang Dasar 1945 sungguh cocok dan mampu memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia yang sedang membangun. Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan idiil yang luhur dan kuat yang mampu memberikan gairah rangsangan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir maupun batin, ialah dasar falsafah Pancasila yang terpancang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan struktural yang kokoh, yang menjamin stabilitas pemerintahan seperti digambarkan dalam sistem dan mekanisme pemerintahan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Demikian juga Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan operasional yang mampu memberikan pengarahan dinamika yang jelas, dan sesuai dengan perkembangan keadaan dan kemajuan zaman seperti yang digariskan oleh mekanisme penyusunan haluan-haluan negara serta ketentuan-ketentuan di berbagai bidang kehidupan yang tercantum dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Sekian artikel mengenai undang-undang dasar 1945 dalam gerak pelaksanaannya. Salam Perjuangan., dan tetap ikuti http://www.sistempengetahuansosial.com/
6. Demikian juga Lembaga-lembaga Negara lainnya melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang yang bersangkutan.
Dengan terlaksananya Pemilu tahun 1977 terbentuklah DPR dan MPR hasil Pemilu untuk yang kedua kalinya dalam masa Orde Baru. MPR hasil Pemilu telah bersidang dalam bulan Maret 1978 dan berhasil melaksanakan tugasnya membuat GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun yang akan datang.
Presiden terpilih dengan dibantu oleh Wakil Presiden dalam waktu yang singkat telah mengangkat pembantu-pembantunya yaitu para Menteri dan menetapkan program kerjanya untuk melaksanakan putusan-putusan MPR itu, GBHN dan keputusan-keputusan lainnya.
Demikian juga DPA dan BPK yang menurut undang-undangnya mempunyai masa jabatan lima tahun juga telah dibentuk (diangkat anggota-anggotanya) berdasarkan Undang-undangnya masing-masing.
Kemudian kegiatan penting dari Presiden/Mandataris (Pemerintah) yang baru adalah penyiapan Repelita sebagai pelaksanaan dari GBHN. Persiapan-persiapan lainnya yang perlu dilakukan dalam kaitan dengan mekanisme kepemimpinan nasional yang lima tahunan itu adalah penyelenggaraan Pemilu dalam tahun yang ditentukan, sebagai wahana demokrasi dalam membentuk lembaga-lembaga perwakilan/permusyawaratan rakyat : DPR dan MPR yang baru nanti.
Apabila mekanisme lima tahunan yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang yang berlaku itu dapat terus kita pelihara pelaksanaannya dengan lancar dan tertib, jelas akan memberikan sumbangan yang besar dalam usaha kita bersama untuk menegakkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 semurni-murninya dalam rangka membina kelestarian kehidupan bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 selama masa Orde Baru ini telah terjadi keputusan-keputusan ataupun langkah-langkah kenegaraan yang bersifat melengkapi atau mengembangkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Praktek kenegaraan yang baik dan konstruktif tentu dapat terus dipelihara dan dimantapkan agar menjadi hukum tidak tertulis (konvensi) ataupun mungkin dapat dikukuhkan menjadi salah satu Ketetapan MPR.
Ketetapan MPR tentang penentuan ’’tiga serangkai” Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan-Keamanan secara bersama-sama melakukan sebagai Pemangku Sementara Jabatan Presiden, sebelum MPR dapat memilih Presiden yang baru dalam keadaan Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, merupakan salah satu putusan MPR untuk melengkapi atau mengembangkan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan ini telah diputuskan oleh MPR, dalam Sidang MPR tahun 1973 dan tetap berlaku sampai sekarang.
Ada sejumlah langkah kenegaraan penting baik merupakan keputusan resmi (Ketetapan MPR) ataupun telah tetjadi dalam praktek yang dapat dicatat sebagai pelengkap atau pengembangan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya:
1. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat (bulat).
Salah satu ciri dari Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam hal ini jelas perlunya ada musyawarah dalam pengambilan keputusan. Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2 ayat (3)) menetapkan bahwa MPR mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, namun dalam praktek kenegaraan selama ini di bawah naungan Undang-Undang Dasar 1945 selalu diusahakan dan ternyata hampir selalu berhasil untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini telah dilakukan baik dalam sidang- sidang MPR maupun DPR. Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak artinya dengan pemungutan suara hanya dilakukan apabila usaha musyawarah untuk mencapai mufakat (bulat) ternyata tidak dapat dicapai, meskipun telah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Hal ini adalah suatu contoh praktek kenegaraan yang baik dan telah terpelihara selama ini.
2. Pidato Kenegaraan Presiden di depan sidang DPR setiap tanggal 16 Agustus bertepatan pula dengan permulaan masa sidang DPR yang berisi laporan pelaksanaan tugas Pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat dan arah kebijaksanaan ke depan.
3. Penyampaian pertanggungjawaban Presiden pada akhir masa jabatannya di depan sidang MPR yang telah berlangsung dua kali, serta penilaian MPR atas pertanggungjawaban tersebut.
4. Prakarsa Presiden untuk menyiapkan bahan-bahan GBHN jauh sebelum sidang MPR itu berlangsung, untuk disampaikan kepada MPR pada waktu peresmiannya, sehingga MPR dengan Badan Pekerjanya dapat membahasnya. memusyawarahkannya dan dapat mengambil keputusan tepat pada waktunya.
5. Ratifikasi perjanjian-perjanjian oleh DPR.
Menurut Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945. Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Namun, menurut praktek penyelenggaraannya yang telah berlangsung cukup lama, yang diajukan kepada DPR untuk mendapatkan ratifikasi hanyalah perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, seperti treaties dan agreements tertentu; selainnya diratifikasi dengan Keputusan Presiden.
Masih banyak contoh-contoh lain yang dapat dikemukakan sebagai praktek kenegaraan yang sifatnya melengkapi dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ini semua menunjukkan bahwa pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 yang singkat dan mengatur pokok-pokok itu telah memberikan keluwesan dan kelincahan, sehingga memperlancar pelaksanaannya dan mampu menampung persoalan-persoalan politik dan kenegaraan sesuai dengan kebutuhan.
Dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara mantap, maka dapatlah diciptakan stabilitas politik dan pemerintahan seperti yang dapat kita rasakan selama masa Orde Baru ini yang merupakan syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan bangsa dalam rangka mengisi kemerdekaan untuk mencapai cita-cita nasional, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Undang-Undang Dasar 1945 sungguh cocok dan mampu memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia yang sedang membangun. Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan idiil yang luhur dan kuat yang mampu memberikan gairah rangsangan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir maupun batin, ialah dasar falsafah Pancasila yang terpancang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan struktural yang kokoh, yang menjamin stabilitas pemerintahan seperti digambarkan dalam sistem dan mekanisme pemerintahan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Demikian juga Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan operasional yang mampu memberikan pengarahan dinamika yang jelas, dan sesuai dengan perkembangan keadaan dan kemajuan zaman seperti yang digariskan oleh mekanisme penyusunan haluan-haluan negara serta ketentuan-ketentuan di berbagai bidang kehidupan yang tercantum dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Sekian artikel mengenai undang-undang dasar 1945 dalam gerak pelaksanaannya. Salam Perjuangan., dan tetap ikuti http://www.sistempengetahuansosial.com/