PENJELASAN MENGENAI RASIONALISME, EMPIRISME, KRITISISME.
Kali ini dalam sistem pengetahuan sosial akan dibahas tentang rasionalisme, empirisme, kritisme. Berikut kutipannya.
Dalam Abad ke 17 ilmu-ilmu eksak (sains) mulai berkembang dari percobaan-percobaan iseng menjadi suatu usaha ilmiah yang serius. Para ahli mulai mengetok pintu universitas yang dikuasai para filsuf. Muncul persoalan apakah pikiran mereka dapat dianggap pikiran yang bersifat ilmiah (pasti) atau tidak.
DESCARTES menuntut supaya pengetahuan ilmiah tidak berdasar pengalaman serupa, karena hal yang kita alami selalu berubah-ubah dan tidak bisa menjadi dasar dari pengetahuan yang pasti. Pengetahuan ilmiah harus serupa matematika, pengetahuan a priori yang langsung eviden bagi kita. Ilmu harus terdiri dari kalimat-kalimat yang sebetulnya terdapat dalam pokok (misalnya piano ialah alat musik) sehingga ilmu akan terdiri dari kalimat yang bersifat analitis a priori.
LOCKE dan HUME menuntut supaya ilmu bisa maju. Tanpa pengalaman (riset) tak ada kemajuan. Konsekuensinya ialah bahwa ilmu harus bersifat a posteriori dan sebutan harus melebihi pokok-(piano ini berwarna hitam). Ilmu terdiri dari kalimat sintesis a posteriori.
KANT sudah yakin bahwa ilmu harus bersifat pasti dan harus maju sehingga ilmu harus terdiri dari kalimat yanh sintesis analitis atau a priori a posteriori lazim disebut kalimat sintetis a priori. Hal itu memang suatu kontradiksi. Ilmu berdasar pengalaman dan terdiri dari unsur-unsur yang tidak tergantung dari pengalaman. Dalam praktek hal itu memang nyata: ahli ilmu pengetahuan mengumpulkan data-data dengan eksperimen atau observasi dan data-data diolah secara matematis (a priori) menjadi hukum-hukum alam. KANT berusaha menjelaskan kontradiksi yang pura-pura itu. Untuk itu dia menguraikan pengetahuan manusia pada umumnya dan menjelaskan bahwa pengetahuan ialah suatu sintesis dari hal-hal diluar kita (DAS DING AN SICH) yang diberikan bentuk oleh kita sendiri dengan unsur-unsur a priori sehingga terjadi DAS DING FUR MICH. Hal dari luar ialah rangsangan-rangsangan pancaindera yang disusun dengan ruang dan waktu menjadi pengamatan. Bahan itu disusun lagi dengan kategori (kualitas, kuaiitas dsb.) menjadi hal yang dime-ngerti dan pengertian-pengertian disusun dengan ide-ide (Allah, Jiwa dan Alam) menjadi ilmu pengetahuan.
Sejak itu filsafat Barat dibagi dua aliran: orang yang menekankan hal dari luar (materialisme) dan yang menekankan hal a priori (idealisme).
DESCARTES menuntut supaya pengetahuan ilmiah tidak berdasar pengalaman serupa, karena hal yang kita alami selalu berubah-ubah dan tidak bisa menjadi dasar dari pengetahuan yang pasti. Pengetahuan ilmiah harus serupa matematika, pengetahuan a priori yang langsung eviden bagi kita. Ilmu harus terdiri dari kalimat-kalimat yang sebetulnya terdapat dalam pokok (misalnya piano ialah alat musik) sehingga ilmu akan terdiri dari kalimat yang bersifat analitis a priori.
LOCKE dan HUME menuntut supaya ilmu bisa maju. Tanpa pengalaman (riset) tak ada kemajuan. Konsekuensinya ialah bahwa ilmu harus bersifat a posteriori dan sebutan harus melebihi pokok-(piano ini berwarna hitam). Ilmu terdiri dari kalimat sintesis a posteriori.
KANT sudah yakin bahwa ilmu harus bersifat pasti dan harus maju sehingga ilmu harus terdiri dari kalimat yanh sintesis analitis atau a priori a posteriori lazim disebut kalimat sintetis a priori. Hal itu memang suatu kontradiksi. Ilmu berdasar pengalaman dan terdiri dari unsur-unsur yang tidak tergantung dari pengalaman. Dalam praktek hal itu memang nyata: ahli ilmu pengetahuan mengumpulkan data-data dengan eksperimen atau observasi dan data-data diolah secara matematis (a priori) menjadi hukum-hukum alam. KANT berusaha menjelaskan kontradiksi yang pura-pura itu. Untuk itu dia menguraikan pengetahuan manusia pada umumnya dan menjelaskan bahwa pengetahuan ialah suatu sintesis dari hal-hal diluar kita (DAS DING AN SICH) yang diberikan bentuk oleh kita sendiri dengan unsur-unsur a priori sehingga terjadi DAS DING FUR MICH. Hal dari luar ialah rangsangan-rangsangan pancaindera yang disusun dengan ruang dan waktu menjadi pengamatan. Bahan itu disusun lagi dengan kategori (kualitas, kuaiitas dsb.) menjadi hal yang dime-ngerti dan pengertian-pengertian disusun dengan ide-ide (Allah, Jiwa dan Alam) menjadi ilmu pengetahuan.
Sejak itu filsafat Barat dibagi dua aliran: orang yang menekankan hal dari luar (materialisme) dan yang menekankan hal a priori (idealisme).
Empirisme Dan Rasionalisme
Setiap macam pengetahuan dapat dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut legitimitas. Untuk kedua sudut terdapat dua posisi yang ekstrim: sumber ialah roh m.imr.i.i sendiri atau dinia yang mengesan roh itu. Legitimitas men jadi nyata berdasar suatu bukti rasional atau dari simiii demonstrasi eksperimental. Hal itu sering dijelaskan dengan lelucon dua ahli yang berkelahi tentang jumlah gigi kuda sampai seorang kusir membuka mulut kuda dan menghitung gigi-giginya.
Filsuf yang berpendapat bahwa sumber harus dicari dalam dunia dan legitimitas dalam demonstrasi, disebut empiris dan termasuk golongan empirisme. Empirisme terdiri dari pelbagai teori. Dikatakan bahwa dasar empirisme harus dicari dalam pendapat Aristoteles: nihil es in intellectu quid nisi prius in sensu, hanya itu bisa menjadi bahan pikiran yang sebelumnya diamati. Tokoh dari empirisme ialah Huma dan Locke karena mereka mencari sumber pengetahuan dalam alam luar kita meskipun mereka dekat idealisme berdasar kenyataan mereka tidak mau bicara tentang sebab-sebab dari pengamatan, Dari fihak lain tidak ada seorang rasionalis yang seratus persen menyangkal arti pengamatan untuk pengetahuan.
Filsuf yang berpendapat bahwa sumber harus dicari dalam dunia dan legitimitas dalam demonstrasi, disebut empiris dan termasuk golongan empirisme. Empirisme terdiri dari pelbagai teori. Dikatakan bahwa dasar empirisme harus dicari dalam pendapat Aristoteles: nihil es in intellectu quid nisi prius in sensu, hanya itu bisa menjadi bahan pikiran yang sebelumnya diamati. Tokoh dari empirisme ialah Huma dan Locke karena mereka mencari sumber pengetahuan dalam alam luar kita meskipun mereka dekat idealisme berdasar kenyataan mereka tidak mau bicara tentang sebab-sebab dari pengamatan, Dari fihak lain tidak ada seorang rasionalis yang seratus persen menyangkal arti pengamatan untuk pengetahuan.
Kritik terhadap empirisme berbunyi sebagai berikut :
Tidak mungkin bahwa unsur-unsur partikulir menghasilkan suatu hal yang umum. Memang benar bahwa tidak ada kemungkinan mengetahui sesuatu kalau tidak ada pengamatan dulu dan legitimasi tak tergantung dari pengamatan sukar dibayangkan. Benar juga bahwa kita tidak bisa mencari sumber dan legitimasi pengetahuan hanya dalam pengamatan saja. Bahwa keseluruhan tidak mungkin tidak lebih besar dari bagian tidak dilihat melainkan diketahui a priori. Cara membuktikan secara logis atau matematis juga termasuk pengetahuan dan tidak tergantung dari pengamatan.
Lain daripada itu bisa dikatakan bahwa pengamatan tidak memberi bayangan dunia yang cocok begitu saja dengan dunia itu karena segala pengamatan terjadi dalam suatu keseluruhan )konteks) sehingga pengamatan menjadi suatu hal kultural dan bukan hal fisik. Galilei melihat benda-benda dalam ruang kosong dengan kecepatan yang tidak li'igantung dari beratnya. Pengetahuannya melebihi pengetahuan Aristoteles tidak karena dia mempunyai mata lebih baik tapi karena dia mempunyai pengertian lebih baik tentang gerakan.
Golongan rasionalis dengan tokoh-tokoh seperti Descartes, Leibniz dan lain-lain mencari sumber dan legitimitas pikiran manusia dalam suatu fakultas yang khusus bagi manusia. Pikiran harus bersifat pasti dan tidak bisa seluruhnya ditentukan badan atau dunia luar di mana kesan-kesan berubah dan tidak bersatu. Inneisme menerangkan fakultas khusus itu sehingga manusia dalam cahaya rasionya bisa menarik kesimpulan yang logis ditarik dan pasti berdasar evidensi dari pikiran sendiri.
Sekian artikel kami tentang rasionalisme, empirisme, kritisme. semoga dapat berguna dan bermanfaat untuk pembaca, terima kasih dan tetap ikuti www.sistempengetahuansosial.com
Tidak mungkin bahwa unsur-unsur partikulir menghasilkan suatu hal yang umum. Memang benar bahwa tidak ada kemungkinan mengetahui sesuatu kalau tidak ada pengamatan dulu dan legitimasi tak tergantung dari pengamatan sukar dibayangkan. Benar juga bahwa kita tidak bisa mencari sumber dan legitimasi pengetahuan hanya dalam pengamatan saja. Bahwa keseluruhan tidak mungkin tidak lebih besar dari bagian tidak dilihat melainkan diketahui a priori. Cara membuktikan secara logis atau matematis juga termasuk pengetahuan dan tidak tergantung dari pengamatan.
Lain daripada itu bisa dikatakan bahwa pengamatan tidak memberi bayangan dunia yang cocok begitu saja dengan dunia itu karena segala pengamatan terjadi dalam suatu keseluruhan )konteks) sehingga pengamatan menjadi suatu hal kultural dan bukan hal fisik. Galilei melihat benda-benda dalam ruang kosong dengan kecepatan yang tidak li'igantung dari beratnya. Pengetahuannya melebihi pengetahuan Aristoteles tidak karena dia mempunyai mata lebih baik tapi karena dia mempunyai pengertian lebih baik tentang gerakan.
Golongan rasionalis dengan tokoh-tokoh seperti Descartes, Leibniz dan lain-lain mencari sumber dan legitimitas pikiran manusia dalam suatu fakultas yang khusus bagi manusia. Pikiran harus bersifat pasti dan tidak bisa seluruhnya ditentukan badan atau dunia luar di mana kesan-kesan berubah dan tidak bersatu. Inneisme menerangkan fakultas khusus itu sehingga manusia dalam cahaya rasionya bisa menarik kesimpulan yang logis ditarik dan pasti berdasar evidensi dari pikiran sendiri.
Sekian artikel kami tentang rasionalisme, empirisme, kritisme. semoga dapat berguna dan bermanfaat untuk pembaca, terima kasih dan tetap ikuti www.sistempengetahuansosial.com

