klik saja

Filsafat Ilmu Pengetahuan

Posted by

Bagaimana Filsafat Ilmu Pengetahuan?

Kali ini dalam sistem pengetahuan sosial, kita akan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan, dan pendapat beberapa filsuf ilmu pengetahuan tentang pandangannya mengenai filsafat ilmu pengetahuan. Maka dari itu mari kita menyimak filsafat ilmu pengetahuan dibawah ini.

Penjelasan Tentang Filafat Ilmu Pengetahuan

Sebagai salah satu dari disiplin ilmu pengetahuan atau sains (science), Ilmu Pendidikan memerlukan metode ilmiah yang dapat digunakan untuk membangun teori-teori ilmiah terkait untuk mengembangkannya. Metode ilmiah yang dimaksudkan itu adalah metode penelitian pendidikan yang pada hakekatnya merupakan suatu proses yang sistematis dalam melakukan pengumpulan data dan melakukan analisis data secara logis untuk maksud-maksud tertentu (McMillan and Schumacher, 2001). Adapun maksud utama dari penelitian-penelitian dalam bidang pendidikan itu sendiri adalah untuk menemukan ilmu pengetahuan yang dapat membantu peningkatan pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah (Kneller, 1971)[Filsafat Ilmu Pengetahuan].
Metode penelitian ilmiah pada dasamya merupakan pengembangan dari filsafat ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, filsafat merupakan upaya dalam menemukan kebenaran (truth) yang menjadi pondasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk pengembangan ilmu pendidikan. Dalam perspektif historis, secara umum pengembangan ilmu pengetahuan sudah dirintis sejak para filsuf ilmu pengetahuan berupaya mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan apa (ontologi), mengapa (aksiologi), dan bagaimana (etimologi) tentang sesuatu yang ingin diketahui terutama yang terkait dengan upaya menemukan kebenaran (truth).

Pandangan Para Filsuf tentang Filsafat Ilmu Pengetahuan

Dalam upaya menemukan kebenaran, para filsuf ilmu pengetahuan berbeda pandangan tentang ada atau tidaknya kebenaran itu. Di antara mereka ada yang memandang bahwa kebenaran itu ada, dan filsafat ilmu berkepentingan dengan upaya menemukan kebenaran itu. Di pihak lain, sebagian dari mereka tidak memperdulikan ada atau tidaknya kebenaran. Filsafat ilmu hanya berkepentingan dengan penemuan pengetahuan yang sahih atau valid.
Para filsuf ilmu pengetahuan yang termasuk pada kategori pertama sepakat, bahwa kebenaran merupakan pernyataan yang diterima tanpa ragu-ragu, namun mereka berbeda pandangan tentang hakekat kebenaran itu sendiri. Diantara mereka ada yang memandang kebenaran sebagai suatu pernyataan yang koheren atau konsisten dengan kebenaran umum (penganut aliran rasionalisme). Sebagian lain memandang kebenaran sebagai pernyataan yang bertalian atau berkorespondensi dengan obyek atau fakta empirik (penganut aliran empirisme). Sebagian lain memandang kebenaran sebagai pernyataan yang memenuhi kriteria fungsional dalam kehidupan praktis atau bersifat pragmatis (penganut aliran pragmatisme).
Penganut aliran rasionalisme, mulai dari Aristoteles, memandang kebenaran sebagai sesuatu yang konsisten dengan pernyataan umum (premis mayor) yang sudah dianggap benar. Kekonsistenan dengan pemyataan umum ini dapat dilihat dari pernyataan yang bersifat khusus (premis minor) yang konsisten dengan diterimanya kebenaran dalam pernyataan umum yang akan melahirkan konsekuensi yang bersifat logis dari kekonsistenan itu. Sebagai misal, bila kita menerima konsep Geometri Euclid yang menyatakan, bahwa jumlah sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat, maka pada sebuah segitiga ABC, apabila dari titik A ditarik sebuah garis lurus p sejajar dengan garis BC, akan terbentuk sudut-sudut aPx- Kesimpulan bahwa sudut-sudut a = a, b = p, c = apx dan kesimpulan bahwa jumlah sudut-sudut apx adalah 180 derajat dianggap sebagai kebenaran. Diterimanya ini sebagai kebenaran adalah karena konsisten dengan premis-premis sebelumnya yang telah diterima sebagai kebenaran. 
Berbeda dengan pandangan filsuf rasionalis, para filsuf empiris (diantara tokohnya adalah Betrand Russels) memandang kebenaran sebagai sesuatu yang berkorespondensi dengan fakta atau obyek empirik. Contoh, pernyataan bahwa ibu kota negara Amerika Serikat adalah Washington, D.C. dapat diterima sebagai suatu kebenaran, karena fakta menunjukkan bahwa pusat pemerintahan negara Amerika Serikat berada kota ini, bukan di New York.
Adapun filsuf pragmatis (sebagian dari filsuf-filsuf Amerika) dengan pencetusnya Charles S. Pierce, memandang kebenaran sebagai suatu pernyataan yang konsekuensinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Jadi, meskipun suatu pernyataan atau suatu teori itu terbukti secara ilmiah, apabila tidak fungsional bagi kehidupan manusia, maka pernyataan atau teori itu tidak diterima sebagai suatu kebenaran. Perlu dicatat, meskipun pada hakekatnya pragmatisme bukan aliran filsafat yang mempunyai doktrin filosofis, namun kriteria kebenaran yang dicetuskannya bisa dijadikan salah satu acuan dalam menilai kebenaran [Filsafat Ilmu Pengetahuan].
Kebiasaan para filsuf ilmu pengetahuan dalam mencari kebenaran adalah dengan menelusuri sumbernya. Dalam pandangan penganut paham yang tidak mementingkan ada tidaknya kebenaran dalam pengkajian ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan adalah tidak penting. Hal yang penting adalah bagaimana menguji pengetahuan itu dengan mengajukan kritik dan penyangkalan (refutation) dalam memperkaya pengetahuan ilmiah itu. Kritik yang diajukan adalah dalam rangka verifikasi atau justifikasi. Verifikasi adalah pengujian benar atau tidaknya, sedangkan justifikasi adalah pembuktian kesalahan-kesalahan atau falsifikasi. Oleh karena itu, dalam perspektif aliran ini metode ilmu pengetahuan sebenamya adalah conjectures and refutation atau dugaan dan penyangkalan (Popper, 1968,)[Filsafat Ilmu Pengetahuan].
Bagi filsuf yang menerima adanya kebenaran sebagaimana dijelaskan diatas kebenaran adalah sesuatu yang diterima tanpa ragu-ragu. Hakekat kebenaran itu sendiri dipandang secara berbeda-beda. Perbedaan ini menjadikan metode untuk menemukannya pun berbeda-beda pula, sehingga muncul aliran-aliran besar dalam penemuan kebenaran, yaitu empirisme dan rasionalisme. Kaum empirisme memandang kebenaran sebagai sesuatu yang nyata atau real, sedangkan yang nyata adalah yang bisa ditangkap dengan panca indera (empiris). Induksi menjadi prosedur tipikal yang ditempuh kaum empiris dalam menemukan kebenaran, karena adanya sikap skeptis terhadap peranan rasio. Sebaliknya, kaum rasionalis memandang bahwa dunia empiris adalah dunia tanpa makna.
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dunia yang penuh makna adalah dunia rasio, sehingga dalam memperoleh pengetahuan tentang dunia digunakan metode deduksi yang menekankan pada rasio atau penalaran. Bahkan, meskipun mereka yang menafikkan (menganggap tidak ada) dunia nyata, diantara mereka banyak yang bukan termasuk kaum rasionalis, tetapi termasuk kepada anti realis. Mereka yang disebut terakhir ini memandang keberadaan dunia tergantung pada kacamata yang dipakai untuk melihatnya, dan keberadaan dunia itu sendiri adalah hasil konstruksi manusia.
Tanpa bermaksud memperkecil peran retorika para penganut berbagai aliran utama filsafat, kita bisa mengamati bahwa ilmu pengetahuan menggunakan dua prosedur utama yang saling mendukung, yaitu induksi dan deduksi. Dalam kerangka penemuan kebenaran, skema induksi yang lebih menekankan pada penggunaan fakta empirik tidak bisa berhasil tanpa menduga sebelumnya unsur-unsur yang relevan yang akan terlibat dalam teijadinya fenomena. Proses pendugaan ini dikenal dengan hipotesis, yang pada hakekatnya merupakan proses deduksi. Jadi kedua prosedur, induksi dan deduksi, dalam metode ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, namun saling mendukung keberhasilan penemuan kebenaran, termasuk yang terkait dengan pendidikan.
Kebenaran dalam konteks ilmu pengetahuan sering disebut dengan kebenaran ilmiah atau scientific truth. Filsafat ilmu yang menjadi cikal bakal metode ilmu pengetahuan pada mulanya cenderung menekankan kebenaran sebagai pengetahuan mengenai obyek-obyek empiris. Obyek-obyek semacam ini dipandang sebagai sesuatu yang nyata, yang oleh kaum realis dipandang sebagai yang benar-benar ada dan keberadaannya adalah diluar kesadaran manusia. Dunia inilah yang menjadi obyek penelaahan ilmu pengetahuan. sehingga mereka mendefinisikan ilmu pengetahuan sebagai suatu eksplorasi terhadap dunia material melalui observasi untuk mencari berbagai penjelasan tentang realasasi-relasasinya.
Atas dasar ini ilmu pengetahuan dibatasi hanya pada obyek yang terjangkau oleh panca indera saja atau dibatasi pada obyek yang terobservasi.(<observable) dan terukur {measurable) saja. Dalam pandangan [Filsafat Ilmu Pengetahuan] Popper (1968), observasi merupakan alat untuk melakukan uji kesahihan (validasi) terhadap pernyataan ilmiah yang menjadi tujuan dari penemuan pengetahuan yang sahih yang menjadi tujuan dari penelitian ilmiah. Konsep ini berlaku juga dalam Ilmu Pendidikan, yang berarti penemuan ilmiah dalam bidang ini merupakan upaya menemukan pengetahuan kependidikan yang sahih, yang kesahihannya selalu terbuka untuk dilakukan justifikasi atau vertifikasi oleh siapapun.
Demikian postingan kami kali ini tentang filsafat ilmu pengetahuan, dan pendapat beberapa filsuf ilmu pengetahuan tentang pandangannya mengenai filsafat ilmu pengetahuan. Terima kasih atas waktunya, dan tetap ikuti kami di http://www.sistempengetahuansosial.com/.
Sumber: Buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, [Filsafat Ilmu Pengetahuan]


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Sistempengetahuansosial Updated at: 5:00:00 PM

Cari di Google