klik saja

Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang

Posted by

TERITORI KERAJAAN SIANG DAN LOMBASANG

HASIL SURVEI ARKEOLOGI

Kali ini dalam sistem pengetahuan sosial, kita akan mempelajari tentang teritori kerajaan siang dan lombasang. semoga tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat untuk pembaca. untuk itu mari kita menyimak teritori kerajaan siang dan kerajaan lombasang dibawah ini.  
Penelitian arkeologi di Kabupaten Pangkajene Kepulauan mencakup dua wilayah survei: Kecamatan Bungoro dan Kecamatan Labakkang. Meskipun demikian, pembagian wilayah kajian ini masih tetap membuka ruang survei secara luas di luar wilayah kedua kecamatan tersebut. Jika diperlukan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan obyek studi Siang, survei juga dimungkinkan dilakukan ke wilayah kecamatan lain, Segeri misalnya. Perlu dipertegas di sini bahwa, sifat penelitian yang akan dipaparkan masih observatif. Jadi, kendati subyek pokok penelitian ini terfokus pada kekunaan kerajaan Siang, pengamatan suplemen di bekas Kerajaan Lombasang yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Labakkang akan diuraikan setelah mendeskripsikan hasil penelitian di bekas teritori kerajaan Siang, Kecamatan Bungoro.

Teritori Kerajaan Siang Kuna

- Pusat Kota Siang
    a. Tembok Kota
    Masih terlalu sulit untuk mendeskripsikan secara fisik apa yang diidentifikasi sebagai pusat kota Siang kuna. Dipandu oleh kesaksian penduduk Sengkae, kampung di mana emplasemen kerajaan Siang berada, estimasi kita tentang lbukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh batanna kotaya [Makassar = benteng (bata) kota]. Dr. Ch. Pelras sempat mencatat bahwa benteng keliling ini sebagai muraille de terre [benteng tanah], yang diperkirakan mencakup luas satu km2.     Namun, informan kami — Saidong dan Sangkala; penduduk kampung Sengkae, Desa Borri Appaka — menuturkan bahwa benteng terbuat dari susunan batu gamping yang pada tahun 1940-an masih tampak di atas tanah, bahkan penduduk sering mengangkat batu-batu bagian barat dinding benteng untuk membangun fondasi masjid di kampung Sengkae. Beberapa bongkah batu gamping masih tampak di sekitar bekas galian penduduk. Sekarang, seluruh bagian benteng terpendam dalam tanah akibat sering dilanda banjir dan tertimbun pasir lempungan setinggi kira-kira 1 meter.
    Selanjutnya informan menceritakan bahwa benteng mengitari lahan yang sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Dari kesaksian mereka, kita mempunyai gambaran yaitu sementara bahwa alur benteng berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang yang telah mati. Sisa Sungai Siang yang telah mati sekarang hanya tampak berupa saluran air arah timur barat selebar 3-5 meter dengan kedalaman antara 2-3 meter dari atas muka tanah. Pada sepanjang tepi sungai tampak rumpun- rumpun pohon bambu.[Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang]
    b. Ruang Politik dan Religius
    Kepentingan benteng dalam kasus eksistensi Kerajaan Siang Kuna adalah untuk membatasi sekaligus melindungi bangunan utama kota, kompleks Barugaya atau bangunan audiensi yang merupakan bagian pelengkap istana yang disebut Ballalompoa dalam terminologi penduduk sekarang. Penduduk hanya menyebut Barugaya untuk keseluruhan kompleks istana raja. Informan juga menunjukkan sebuah tempat di dalam kompleks benteng ini yang disebut Batara Bori, yang fungsinya sebagai lokasi upacara ritual bagi warga kota yang hendak menghadapi peperangan. Untuk menunjang fungsinya, kompleks ini dilengkapi dengan Bungung Tubarania, yakni sumber air suci yang digunakan untuk intronisasi para prajurit agar memperoleh «keberaniaan» di medan perang. Para prajurit itu terdiri dari para elit yang dikenal sebagai Karaengta Pasombala, yaitu pasukan yang mengontrol teritori dan Pallapa Baro-Baro atau para pengawal istana.
    Di sudut benteng sebelah barat daya terdapat sebuah makam, fisiknya baru dan dikeramatkan yang kelihatan dengan adanya aktivitas «nazar». Banyak penduduk Pangkajene meyakini, Karaeng Siang malajang atau «menghilang» di lokasi makam tersebut. Baik Barugaya,' Batara Bori maupun Bungung Tubarania tidak memperlihatkan struktur bangunan apapun, kecuali ditandai rimbunan pohon yang dipandang mengandung kekuatan gaib dan keramat. Penduduk hanya menunjuk titik-titiknya pada satu atau beberapa buah batu, yang kelihatannya bekas bagian dari bangunan. Pengaruh mitik Karaeng Siang ini masih kuat sampai sekarang. Salah seorang bangsawan kerajaan Siang yang hidup sejaman dengan Arung Palakka, dan hidup di kraton Bone juga dikuburkan di kompleks benteng ini Kenang-kenangan orang Bungoro tentang masa keemasan kerajaan itu diabadikan dengan menyebut situs ini sebagai Kompleks makam «Raja Siang».
    Secara fisik, bangunan makam di kompleks pekuburan Raja kerajaan Siang menunjukkan kubur seorang Islam. Makam-makam di dalam kompleks berorientasi utara-selatan, dengan dua buah nisan menandai bagian kepala dan kaki si mati. Perlakuan istimewa penduduk pada makam «Raja Siang» ini ditunjukkan dengan membangun sebuah cungkup; bangunan beratap tanpa dinding dan sekelilingnya diberi pagar kayu. Lantai sekeliling makam terbuat dari ubin keramik. Pada nisan tampak bekas-bekas pembakaran kemenyan dan bunga rampai sisa kegiatan ziarah kubur.
    Bangunan makam lain terdapat sekitar 3 meter di sebelah selatan makam «Raja Siang». Makan terdiri dari jirat dan dua buah nisan. Jirat merupakan bentukan diri susunan papan batu padas dengan dua sisi pendek di utara dan selatan dan dua sisi panjang di sebelah barat dan timur dengan ketinggian dari muka tanah 1,52 cm. Pada kedua sisi pendek terdapat masing-masing sebuah nisan, tetapi telah rusak [patah]. Desain dan bentuk nisan yang pipih menunjukkan kubur seorang perempuan [Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang].
    c. Ruang Sosial-Ekonomi
    Akses ke pusat kota kerajaan Siang \batana kotaya] adalah melalui Sungai Siang. Pintu masuk pertama terdapat di bagian timur: akses dari pedalaman, yaitu di bagian ujung benteng sebelah timur. Akses kedua terletak di bagian barat: konon dahulu dapat dicapai dari laut, yaitu di bagian ujung benteng sebelah barat. informan kami menyebut ujung benteng sebelah barat: Soreang [Makassar = tempat berlabuh], Sedangkan informan Pelras menyebut lokasi ujung benteng sebelah barat: Labuang Padagangnga. Yang perlu dipertanyakan apakah toponim yang dimaksud Pelras itu terletak di dalam kota kerajaan Siang atau berada di muara sungai sekarang, di sekitar pesisir pantai barat? Soal tersebut sejauh penelitian kami belum mendapatkan penjelasan yang rinci dan memuaskan.
    Dengan kesaksian penduduk kampung Sengkae, jika keraguan tersebut dapat dibetulkan, kelihatannya kita baru dapat memberi estimasi bahwa transportasi air dapat mencapai pusat kota sebelum terjadinya pengendapan yang mengakibatkan mundurnya garis pantai dan menjadikan situs kota kerajaan Siang sekarang berada pada jarak 5 kilometer dari garis pantai. Berangkat dari informasi ini, kita dapat menginterpretasikan bahwa Labuang Padagangnga lebih berfungsi sebagai tempat singgah para saudagar yang hendak bertemu raja. Audensi pedagang dan raja mengingatkan kita pada tradisi sistem pertukaran kuna yang mempraktekkan perdagangan «serah» atau «upeti» (Polanyi, 1975; Miksic, 1981). Sumber air yang penting pada masa itu terdapat di sebelah barat kompleks benteng, disebut Bungung Tallua [tiga buah sumber air], letaknya di tepi selatan sungai kerajaan Siang. Sekarang, sumur tua tersebut sekelilingnya telah ditembok dan masih tetap berair, tetapi fungsinya tidak primer lagi.
    Menurut informan kami M. Taliu, Bungung tallua merupakan simbolisasi hubungan antara Kerajaan Luwu, Bone dan Gowa dengan Siang. Bungung tallua adalah suatu sumur besar yang lubangnya dibagi tiga oleh sanrangan, yakni semacam selinder kecil yang terbuat dari batang pohon lontar. Konon, rasa air ketiga sanrangan kecil berbeda. Dahulu, bila orang Luwu dan Bone ingin ke Gowa atau sebaliknya, biasanya singgah mengambil air di bungung tallua. Ketiga sanrangan merepresentasikan persahabatan. tiga kerajaan besar [Bone, Gowa, dan Luwu] yang ditampung oleh kerajaan Siang. Jadi, simbolisasi bungung tallua merefleksikan kedudukan kerajaan Siang sebagai melting-pot ketiga masyarakat negeri, bukan hanya manusianva, tetapi juga budaya.
    Indikasi aktivitas pertukaran ditunjukkan penemuan berbagai wadah keramik impor oleh penduduk, baik sengaja ataupun secara kebetulan ketika menggali tanah. Pertanggalan tertua diberikan oleh wadah-wadah keramik dari abad XV dan yang termuda dari abad XVII. Namun, data pertangalan dari keramik tidak dapat dijadikan patokan dasar kronologi relatif situs, sebab, seperti juga dikatakan para penggali, wadah-wadah keramik Cina celadon yang kemungkinan besar berasal dari abad XIII-XIV juga ditemukan, dan yang paling banyak dicari oleh para pengumpul barang antik. Wadah-wadah yang masih tersimpan di rumah-rumah penduduk adalah benda-benda keramik sisa yang kurang diminati oleh para pembeli barang antik [Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang].

- Wilayah Periferik
    a. Ruang Redistribusi
    Jika Labuang padagangnga atau Soreang terutarna mempunyai fungsi eksklusif, dengan kata lain. lebih melayani kepentingan komunitas intra muros, maka soal kita selanjutnya adalah di mana pelabuhan sesungguhnya. Apabila benar bahwa dalam tradisi masyarakat feodal biasanya pusat niaga menjauhi pusat pemerintahan, maka seharusnya pelabuhan, lazimnya dikendalikan oleh seorang kepala yang ditunjuk raja, berada di luar tembok kota. Pengembangan pertanyaan ini mengharuskan pilihan survei pada muara sungai; jalan keluar dari ibukota, setidaknya tidak jauh dari tempat membuang sauh bagi kapal-kapal bermuatan sejumlah besar barang-barang keramik atau komoditas impor penting lainnya. Jawaban penduduk menunjuk pada situs Bulu-bulu, terletak di sekitar muara sungai kerajaan Siang, yang sekarang masuk wilayah Kelurahan Bulu Cindae, tidak jauh dari pelabuhan Biring Kasi; entreport semen Tonasa.
    Sayangnya, situs Bulu-bulu luput dari catatan Pelras, tetapi secara implisit dicatat Paiva (1544), bahwa orang Portugis itu harus buang sauh pada sebuah tempat di pantai. Pelras sedikit melihat adanya transformasi rupa bumi di kawasan ini. Dikatakan bahwa daratan Pangkajene yang sekarang masih juga berawa-rawa, dulu mungkin sebuah teluk yang dalam dan terbenam dalam bukit-bukit kars, mengalami transformasi menjadi sebuah delta pada jalan pelayaran yang ramai. Pada sebuah pulau yang terletak di delta utama dijadikan tempat penguasa kerajaan Siang. Jadi, Bulu-bulu mungkin memainkan peran sebagai titik kontak pertama bagi para pedagang dan komunitas lokal jika belum meyakinkan sebagai pelabuhan lepas pantai Siang.
    Situs Bulu-bulu terletak di sekitar muara sungai Siang, sebuah delta berbentuk bukit landai. Situs Bulu-bulu dianggap keramat dan bahkan tetap dikenang dalam legenda orang Siang. Informan kami, M. Taliu merekamnya dalam sebuah catatan: balada seorang pelaut bangsawan Jawa yang singgah dan mengawini puteri kerajaan Siang. Sang bangsawan diceriterakan Kembali ke Jawa, kemudian sang anak datang ke kerajaan Siang. Ketika hendak berlabuh ia melihat puteri cantik dari celah jendela. Sang anak terus memperhatikan sampai akhimya jatuh hati. Begitu cintanya, sang anak berniat untuk mengawini puteri kerajaan Siang nan cantik, yang ternyata ibunya sendiri. Tetapi sang anak tetap ingin mempersunting, sampai akhimya datang topan dan menggulung perahunya hingga karam. Kisahnya mengingatkan kita pada ceritera Sangkuring dari Jawa Barat atau Bandung Bondowoso dari Jawa Timur; bahwa Bulu-bulu [bukit] itu terbentuk sebagai akibat karamnya kapal sebagai laknat kemustahilan.
    Sekarang, situs dikelilingi empang. Penggalian empang mengangkat sejumlah besar deposit berbagai fragmen wadah tembikar [polos dan hias jala] dalam pecahan kecil-kecil dan beberapa keramik. Di atas bukit terdapat makam yang juga dikeramatkan. Kepadatan temuan menjadi indikasi kuat ada konsentrasi pemukiman tua dengan satu-satunya pilihan untuk aktivitas perdagangan. Lokasi tersebut kemudian ditinggalkan setelah akses ke pusat kota kerajaan Siang menemui kendala alam yang hebat. Eksodus penduduk tampaknya ikut mempengaruhi kemunduran politik-ekonomi kerajaan Siang dan beralihnya koloni pedagang Melayu ke Gowa [Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang].

    b. Unit-unit Pemukiman Tepi Sungai
    Sejajar dengan pusat kota kerajaan Siang di Sengkae, ada sebuah bukit bernama Ma'runtu atau Ma duntu yang diidentifikasi Pelras sebagai Maguntor menurut sumber Portugis. Bukit Ma'runtu terletak di Dusun Bontopenno, Desa Bonelea, Kecamatan Bungoro, sebuah bukit kapur yang; diduga dulu berada dalam teritori Labakkang. Tetapi Paiva mencatat bahwa tempat ini milik martua raja kerajaan Siang. Agaknya, raja Siang melakukan perkawinan dengan penguasa Ma'runtu dan menjadikannya berada dalam otoritas kerajaan Siang. Informan Pelras menuturkan bahwa di bagian kaki tebing-tebing karang itu, tak lagi ada desa, tetapi sekarang dibangun kompleks perumahan modem, dengan lingkungan persawahan yang subur. Di sekitar area Bukit Ma'runtu orang sering menemukan keramik- keramik dan benda-benda emas dalam tanah. Meskipun tidak menyisakan irdikator kekunaan situs di permukaan tanah, tetapi kuburan tua yang berada di atas bukit ini mungkin menghamskan kita berfikir ten tang basis politik kedl di sekitar Ma'runtu; jika tidak penting, mengapa de Paiva merasa per’u mencatatnya.
    Masih mengikuti aliran Sungai Siang ke arah hulu, terdapat toponim yang dinamai penduduk Paranggi atau Paratu-gala, di Kampung Katapang, Kelurahan Sapanang, Kecamatan Bungoro. Di situs Paranggi terdapat kompleks makam orang-orang Portugis, sekadar mengingatkan, bahwa Antonio de Paiva jatuh sakit dan harus tinggal lama di Siang. Mungkin raja kerajaan Siang memberinya tempat tinggal di situs Paranggi ini. Situs makam Paranggi hanya ditandai dengan serakan batu-batu gamping yang diperkirakan sebagai lokasi kubui orang Portugis. Ke arah hulu lagi, masih di tepi sungai Siang, terdapat toponim «PasUi», si buah kampung yang dikatakan sebagai koloni orang «Pasai» [Pasui ?]. Catatan Portugis menyetutnya: Paquer atau Pacer. Pasui gdaleh pusat politik yang berada di bawah kekuasaan leluhur raja kerajaan Siang (orang tua Karaeng Siang), dan kemudian menjadi vasal kerajaan Siang.
    Pada sungai lain, dari rnuara yang sama dengan Sungai Siang, terdapat Sungai Marana, yang membelah kota Pangkajene sekarang. Di tepi Sungai Marana ada tempat bemama Matojeng, dekat Ujung Loe, Desa Minasa'te'ne, de Paiva menyebutnya Matugyn. Di Matojeng atau Matugyn menurut de Paiva- pernah ditemukan topeng emas (lihat foto 10) dan berbagai wadah keramik (lihat foto 11). Informan kami, M. Taliu, mengatakan bahwa Matojeng adalah salah satu tempat di mana orang Portugis bersama raja kerajaan Siang melakukan negosiasi. Di sebelah selatannya terdapat kampung bemama Biraeng [berada di bawah Galarang Lo'mo Lesang]. Kampung Biraeng juga merupakan tempat orang Portugis bersama raja kerajaan Siang melakukan negosiasi untuk kristenisasi. Karena itu, Taliu berpendapat, apa yang disebut Borneo dalam peta Portugis ada di Biraeng, bukan di Bunnea yang ada di Desa Bukit Tellue, Kecamatan. Bungoro seperti diduga Pelras (1981). Jika benar begitu, maka baik Biraeng maupun Matojeng adalah unit-unit politik kecil yang membentuk konfederasi kerajaan Siang. Kendati berada di bawah kontrol Siang, tetapi unit-unit kecil mempunyai otonomi khusus, sehingga Karaeng Siang memandang perlu mengajak kedua kepala itu untuk turut menentukan kebijakan raja kerajaan Siang rrenghadapi ajakan kristenisasi dan hubungan niaga dengan Portugis di Malaka [Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang].

    c. Transformasi Arkeologis
    Dalam kompleks situs di daerah Pangkajene, penduduk tetap menyimpan kenangan manis ten tang melimpahnya temuan, barang- barang keramik. Boom-nya terjadi tahun 1980-an, banyak orang menggali di hampir selunih lokasi di Dusuri Sengkae, sepanjang tepian Sungai Siang. Kesaksian Saidong (Desember 1999), bahwa ia sering menemukan keramik asing di Sengkae (lihat foto 12, 13, dan 14), bahkan pemah menemukan tempayan berisi kerangka manusia. Di sekeliling tempayan terdapat ber- bagai wadah keramik seperti buli-buli, piring, mangkuk dan lainnya (lihat tabel 1). Detil konteks kubumya adalah: di sekitar tempayan ku-bur terdapat benda-benda gerabah kecil berupa ayam, macan, burung, gajah, dan orang-orangan [Makassar: dato-dato; Toraja: tau-tau]. Terka- dang, demikian dicerita-kan penduduk, kerangka ditemukan dalam tanah, sedangkan tempayan berada di sisi baratnya. Sekalt lagi diceritakan bahwa kota kerajaan Siang sering dilandc’ banjir bandang, meneng- gelamkan kota dan membawa konsekuensi pad.’ redeposisi temuan per- mukaan, menghanyuLkan atau setidaknya mengikuti gerakan pengikisan daro pengendapan.
    Tampak bahwa keramik tertua berasal dari abad XIII-XIV dan yang termuda berasal dari abad XVII. Kendati dari tabel itu kita belum dapat memperhitungkan frekuensinya mengingat temuan sulit diidentifikasi konteks arkeologinya, tetapi sekurang-kurangnya menunjukkan konsistensi dengan sumber- sumber sejarah tentang eksistensi Kerajaan Siang yang cukup kuna, dan nyatanya, tetap berlanjut dengan kemunculan kelompok- kelompok bangsawan baru sampai pertengahan abad XVII.
    Benda-henda keramik impor tersebut sebagian besar atau seluruhnya terdeposisi dalam situs-situs kubur pra-Islam (foto 15, 16, 17, 18). Bersama keramik dan wadah-wadah tambikar juga terasosiasi benda-benda perhiasan (foto 19) baju besi (foto 20), dan wadah perunggu (foto 21), antara lain berupa gelang berbagai ukuran dan beberapa fragmen wadah yang belum jelas dimensinya sebagaimana telah diselamatkan dan tersimpan di Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Pangkajene Kepulauan [Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang].

- Bekas Teritori Kerajaan Lombasang
    Pusat Politik dan Religius
    Lombasang adalah nama tua dari Kerajaan Labakkang, yakni sebuah konfederasi beberapa entitas kekuasaan politik: Malise, Lombasang, Leange [Bombong Tallua]. Kerajaan Lombasang adalah tetangga kerajaan Siang di sebelah utara. Unit-unit pemukiman utama kerajaan Lombasang berada di tepi Sungai Soreang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Labakkang. Pusat kerajaannya diduga mengalami perpindahan dua kali dalam kurun waktu lima abad sejak sekurang-kurangnya abad XVI. Informan kami hanya menunjuk dua pusat yang berkembang secara suksesif, yaitu: Lembangdan kemudian terakhir dipindahkan ke Kamponga.
    Lembang, sekarang menjadi salah satu pemukiman padat, berada di sekitar jalan utama Pangkajene - Pare-Pare, tepat di sebelah timur Sungai Soreang. Situs Lembang dipercaya sebagai tempat turunnya tokoh pengasas dinasti: Tomanurung, gelarnya somba. Pusat kerajaannya mungkin ada di Palambeang, sebelah hulu Sungai Malise, tepi Sungai Soreang yang terpotong jalan negara. Pemeriksaan permukaan situs telah mengidentifikasi konsentrasi fragmen keramik. Penduduk mengkonfirmasikan bahwa mereka sering kali menemukan berbagai wadah keramik utuhan ketika menggali. Pada Sungai Soreang yang terpotong oleh jalan negara poros Pangkajene-Pare-pare [atas). Akibat terpotong jalan negara, Sungai Soreang yang berada di sebelah barat bahu jalan mengering [bawah]. Muka tanah ditemukan pula deposit cangkang kerang laut. Di bukit karst yang berada di sebelah timurnya terdapat gua yang oleh masyarakat dipercaya sebagai lokasi kubur Somba Labakkang.     Indikator lain terdapat di tepi jalan raya: sebuah makam keramat di mana dikuburkan salah seorang penguasa bemama: La Upa, gelarnya Daeng Matimun Matinroe ri Zikkiri'na. Bentuk makam telah dibangun permanen, menyediakan tempat layak bagi para peziarah. Yang otentik adalah bahwa di atas jirat makam berdiri sebuah nisan yang diklasifikasi sebagai tipe Aceh yang populer pada abad XVI-XVII. Tipe nisan Aceh merupakan indikator penting menentukan benda kubur tersebut sebagai barang impor ketika Islam mulai dianut penguasa Labakkang.
    Perlu dicatat khusus adanya situs Pallambeang, masuk Desa Mangallekana, Kecamatan Labakkang. Petunjuk arkeologis adalah makam keramat dengan orientasi timur-barat bercampur dengan makam yang berorientasi utara-selatan. Makam diberi nama sebagai Tampung Bissu. Di dalam kompleks makam banyak pecahan tembikar di permukaan tanah. Penduduk menerangkan bahwa dalam penggalian-penggalian mereka dulu sering menemukan guci yang berisi abu. Temuan ini, jika benar, akan memberi kita gagasan untuk mempertanyakan apakah bukan tidak mungkin Pallambeang adalah pusat upacara penting Kerajaan Labakkmg sebelum Islam?
    Pusat kedua, berada di Kamponga, sebuah tempat di mana ibukota Labakkang dari periode kolonial berada. Pemindahan ibukota agaknya dilakukan untuk mengatasi semakin jauhnya garis pantai, dan Kamponga sekarang hanya beberapa kilometer saja dari pesisir. Pada ibukota terakhir ini simbol-simbol kerajaan tersimpan dan dipelihara dalam sebuah bangunan yang disebut Ballalompoa. Sekarang, Ballalompoa borada di dalam kompleks rumah jabatan camat Labbakkang. Kekuasaan politik pusat Labakkang ini memang tidak lagi berfungsi, tetapi kekuatan mistik-religius berbagai arajang atau kalompoang—gong, kendang, bende, pedang dan lainnya yang dipelihara pinati masih kelihatan. Pinati adalah sebuah jabatan spiritual yang tetap resistan, mampu memberi kekuatan spiritual dan sekaligus kultural bagi masyarakat adat Labakkang, khususnya dalam aspek sosial ekonomi. Pinati dilembagakan dalam bentuk upacara ritual pertanian padi: mappalili [Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang].

    Pelabuhan Kuna Malise
    Malise dikenal sebagai salah satu unit kekuasaan politik yang membentuk entitas politik kerajaan lombasang atau Labakkang. Meskipun demikian, belum jelas bctul bagaimana awalnya kedudukan Mal;se sebelum terbentuknya konfederasi yang mungkin baru terbentuk pada periode pasca pemerintahan Tuma'parisi Kalonna, raja Gowa yang juga menundukkan Kerajaan Siang. Dalam tradisi tutur diceritakan bahwa Malise adalah lumbung padinya Kerajaan Labakkang. Jika benar, ini berarti bahwa Malise mencakup areal persawahan yang luas dan produktif. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang, teritori Malise identik dengan sawah dataran rendah yang luas. Tetapi ini barangkali lebih menunjukkan bahwa Malise adalah sebuah sentra ekonomi padi yang dikendalikan oleh seorang kepala lokal: «Karaeng Malise», yang telah memberi kontribusi penting bagi eksistensi kekuasaan Labakkang dalam bentuk natura. Dengan begitu kekuasaan politik Malise lebih ditekankan pada otoritas internal yang memungkinkannya menjadi wilayah semi-otonom. Pusat Malise ditemukan berada di tepi Sungai Soreang, sebelah hilir Lembang. Di Desa Malise sekarang, pengaruh karaeng masih kuat dalam masyarakat. Jejak kekunaannya tampak pada konsentrasi fragmen wadah tembikar yang cukup padat di atas permukaan tanah di sekitar kompleks makam Malise.     Beberapa makam menunjukkan kekunaan dari abad XVII dan XVIII. Jadi pusat politik Malise sangat mungkin mengacu pada periode Islam, sekurang- kurangnya bermula dari pendirian institusi-institusi kekaraengan mewarisi tradisi kebangsawanan Gowa.
    Pertanyaannya adalah dimanakah Malise dari periode sebelum Islam seperti tertera pada peta-peta Portugis abad XVI yang menulisnya Malique atau Malisi? Noorduyn berpendapat bahwa kedua toponim Portugis itu adalah Malise sekarang. Dalam peta Portugis, Malise ditempatkan di tepi pantai, dekat muara, memberi tahu kita sebagai sebuah pelabuhan dari Kerajaan Lombasang. Pelabuhan Kerajaan Lombasang yang terakhir ini justru tidak dikenal dalam sumber Portugis itu. Foto 27: Salah satu tipe nisan kuna di Malise yang menunjukkan taraf kekunaan abad 17-18 [Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang].
    Sekarang Malise terletak sekitar 5 kilometer dari garis pantai Perubahan topografis itu memberi petunjuk majunya garis pantai. Jika Malise sebagai pelabuhan yang dikunjungi Portugis [kalau tidak sekadar mencatatnya saja dalam peta berdnsarkan informasi sesama pelaut], maka seharusnya pusat politik ada di sebelah hulunya, yakni Lembang, ibukota pertama. Maka eksistensi pelabuhan Malise mestinya dikenal dari sekitar abad XIV sampai menjelang masuknya Islam ke Labakkang. Sesudah ibukota dipindahkan ke Kamponga, sebelah hilir Malise, mau tidak mau pelabuhan itu mulai kehilangan fungsinya. Pengendapan yang terus-menerus, juga menyebabkan wilayah Malise menjadi dataran rendah yang luas, sejalan dengan semakin banyaknya cabang-cabang sungai menuju muara. Dan, kondisi itu lebih memungkinkannya menjadi areal pertanian yang produktif sampai hari ini.
Sekian artikel tentang teritori kerajaan siang dan kerajaan lombasang. Terima kasih dan tetap ikuti kami di http://www.sistempengetahuansosial.com/.
Teritori Kerajaan Siang dan Lombasang


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Sistempengetahuansosial Updated at: 3:30:00 PM

Cari di Google