klik saja

Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Siang

Posted by

BAGAIMANA SUMBER-SUMBER SEJARAH KERAJAAN SIANG?

Kali ini dalam sistem pengetahuan sosial, kita akan mempelajari sumber-sumber sejarah kerajaan siang., bagaimana sumber-sumber sejarah kerajaan siang yang dilihat dalam la galigo dan lontara. dan juga sumber-sumber sejarah kerajaan siang dilihat dari tradisi tuturnya. oleh karenanya mari kita menyimak sumber-sumber sejarah kerajaan siang dibawah ini.

Sumber-Sumber Sejarah kerajaan Siang dalam La Galigo dan Lontara

    Pulau Sulawesi terutama semenajung selatan,sebagaimana dikatakan Pelras (1965:5), memang benar telah memiliki factor-faktor determinan dalam lapangan sejarah dan identitas Bugis sejak masa-masa yang sangat kuna. Pada taraf itu, sesungguhnya yang lebih menentukan adalah masyarakat Bugis itu sendiri; kelompok populasi Indonesia dengan basis okupasi di semenanjung selatan dalam jumlah cukup signifikan di antara etnik-etnik besar lainnya: Makassar, Toraja dan Mandar. Dari tangan-tangan kreatif nenek-moyang mereka telah diwariskan sebuah karya sastra tutur terbesar yang dinamai La Galigo; sejenis karya sastra lisan epik-mitik yang baru dituliskan sejak sekurang-kurangnya abad XIV (Kern,1939, 1950; La Side & M.D Sagimun, 1989; Sirtjo Koolhof, 1995; Ambo Enre, 1999). Satu atau dua abad kemudian, untuk kedua kalinya orang Bugis mewarisi sejumlah besar karya tulis generasi kedua terutama berupa kronik-kronik dinasti yang lazim disebut “lontara” (Zainal Abidin Farid,1971: 159-172; Christian Pelras, 1979: 271-297).
    [Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang] Dari kedua seri teks itu kita mendapatkan sebuah citra Sulawesi Selatan yang kontras dalam banyak hal. Bagian kontras yang besar pengaruhnya bagi periode suksesif, yakni berkenaan dengan tipe-tipe pemukiman dan peta sosial-politik. Perubahan dalam struktur sosial seperti terefleksi dari teks generasi kedua (lontara) dianggap Pelras sebagai implikasi dari perkembang-biakan pemukiman di pedalaman, sebagai konsekuensi dari perubahan fisik yang penting dalam lanskap alam. Pelras mencatat ada tiga perubahan signifikan dalam fase yang disebutnya sebagai Sulawesi Selatan di ambang pintu sumber-sumber sejarah, yaitu: (1) setting lingkungan fisik, (2) tekno-ekonomi, (3) sosial-politik dan (4) religius-kultural (1996: 99-106)
  1. Setting lingkungan fisik, yakni sebelum terintegrasinya masyarakat ke dalam pemukiman-pemukiman yang memusat. Teks I La Galigo merepresentasikan populasi penduduk awalnya tumbuh berpercar dan jarang di pesisir-pesisir, muara sungai atau tepi-tepi sungai yang dapat dicapai dengan perahu dari laut, sementara pedalaman hampir tak berpenduduk dengan kekecualian di dataran tinggi Toraja di Sulawesi Selatan dan pegunungan Mekongka di Sulawesi Tenggara. Tetapi dalam teks-teks generasi kedua digambarkan pertumbuhan okupasi tertorial justru ke tanah-tanah pertanian di pedalaman yang tidak melulu bergantung pada kemudahan aksesnya dari laut (Macknight, 1983; Pelras, 1996).
  2. Tekno-ekonomi, yakni migasi ke zona subur di dataran rendah membawa konsekuensi pada beralihnya ketergantungan masyara¬kat dari sistem padi ladang dengan teknik tebang-bakar-tanam [slash-and-burn] ke sistem lntensifikasi pertanian padi sawah (wet rice cultivation). Gejala ini dimungkinkan setelah dikenalnya secara luas kegiatan bajak yang telah sangat umum dalam sistem agrikultur padi di Asia Tenggara (Macknight, 1993; Caldwell, 1995; Pelras, 1996).
  3. Sosio-politik, yakni gejala perubahan juga tampak kontras dalam dasar-dasar ekonomi kekuasaan politik, yang pada awalnya lebih bersumber pada kontrol produk-produk mineral dan hasil hutan. Sebaliknya, pada fase kedua, eksistensi negara-negara dinasti sejarah yang agraris cenderung mengarah ke pedalaman semenanjung, terbagi menjadi banyak kesatuan wilayah politik dalam bentuk domain [unit-unit politik semi-independen] yang mengokupasi daratan-daratan subur. Negara-negara itu bersaing ketat dalam kontrolnya atas produksi padi dan menguasai jalur-jalur distribusi dan redistribusinya di beberapa muara sungai penting.
  4. Aspek religius-kultural, sebagai konsekuensi dari ideologi divine ruler, teks I La Galigo lebih menonjolkan malajang (kenaikan ke langit atau menghilang) untuk menerangkan kematian penguasa awal.
    [Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang] Sebaliknya, kronik-kronik dinasti sumber-sumber sejarah telah meninggalkan proses kembalinya seorang tokoh secara mitik ke langit, dan lebih mementingkan praktek kematian melalui inhumasi atau kremasi dan penyimpanan abu dalam tempayan. Praktek- praktek ini sering diacu dalam teks sumber-sumber sejarah dan dapat dikonfirmasi dengan baik dari toponim: pattunuang [tempat pembakaran]. Toponim pattunuang masih merupakan nama tempat umum di Sulawesi Selatan. Penelitian arkeologi maupun berita Portugis melaporkan pula bahwa orang Makassar mempraktekkan penguburan kedua (sekunder), yang masih dipraktekkan orang Toraja sampai pada awal abad XX dengan menggunakan gua-gua sebagai tempat penguburan (Macknight, 1993: 38). Meskipun perubahan pola penguburan menggejala secara umum, namun tetap ada kontinuitas praktek ritual agama. Misalnya, peran bissu tetap sebagai elemen permanen dalam agama pra-Islam Bugis. Peran utama bissu yang signifikan sekarang tampak dimainkan oleh male transvertite bissu (bisu 'waria') daripada bissu perempuan (Pelras, 1996: 106-7).
    [Sumber-sumber sejarah kerajaan siang] Berdasarkan pada kedua versi teks Bugis, skema kronologis dapat dimulai dari periode La Galigo; yang boleh disebut sebagai fase kelahiran negara-negara pertama dalam sebuah peradaban yang relatif maju, dimana kekuasaan raja lebih ditekankan pada ideologi kerajaaan yang bersumber pada divine riyht. Macknight (1983: 98) melihat di sini adanya elemen-elemen mitik menjadi signifikan dalam konstruksi negara periode La Galigo sebagai justifikasi atas status penguasa dan kebangsawanan. Dalam hal ini, negara, raja dan para bangsawan terasosiasi dengan kekuatan supernatural, sebuah wujud yang sulit dijelaskan [unexplained] dari Tomanurung. Dalam sumber-sumber sejarah Sulawesi Selatan, Tomanurung dapat diinterpretasikan sebagai pengasas dinasti, turun ke dunia yang telah dihuni kelompok-kelompok masyarakat yang telah mendiami pemukiman yang relatif sama. Kontrasnya dengan periode pertama, fase «Sejarah Kuna» [abad X1V-XVI], merupakan periode berkembangnya negara-negara historik utama, baik di daratan Bugis maupun Makassar. Pelras (1995: 38) menyebutnya sebagai fase kemunculan model budaya baru dengan mozaik kebangsawanan dan negara-negara nyata; yang kemudian berlanjut dengan hegemoni antara negara-negara Bugis di Bone dan Makassar di Gowa.
    [Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang] Negara-negara periode pertama itu, meskipun referensinya masih harus dikaji kembali, berdasarkan pada teks-teks kuna, kita mendapatkan gambaran sementara tentang okupasi ruang geo- grafisnya. Pada fase ini, masih menurut Pelras (1981), Sulawesi Selatan terbagi menjadi tiga pengaruh teritorial. Pertama zona Luwu, mungkin berpusat di Ware' yang diduga terletak di antara Ussu dan Malili. Namun survei dan ekskavasi tim OXIS (Kolaborasi fieldwork Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Australian National University) di situs-situs pra-Islam Luwu memberi bukti kuat bahwa pusat pra- Islam itu berada di sekitar Pattimang, Malangke (Bulbeck & Prasetyo, 1998a: 5-8). Pusat portama ini mendominasi pesisir timur dan barat Teluk Bone serta mencakup teritorial Wajo sekarang [disebut negeri Cina dalam I La Galigo], mungkin juga sampai Semenanjung Bira dan Selayar, masuk dalam teritori Luwu.
    Kedua adalah zona Wewang Nriwu, yang diduga berpusat di sekitar Suppa (dekat Pare-pere), mendominasi seluruh pesisir barat Sulawesi Selatan dan daerah yang sekarang masuk wilayah Bone. Dan ketiga, Tompottika, berpusat di sekitar Luwuk (Teluk Tolo). Teritori Tompottikka mendominasi pesisir timur Sulawesi sampai ke kepulauan Banggai. Pembagian teritorial itu, pada periode kedua sama sekali tidak tampak, malahan yang menonjol adalah pertumbuhan serentak banyak unit-unit politik kecil yang mengokupasi daratan-daratan Bugis yang subur di sekitar danau besar [Danau Tempe], sisi selatan dan timur. Pada zona Bugis sekitar abad XVI, berkembang aliansi tiga «negara»: Tellumpoccoe. Aliansi Tellumpoccoe terdiri atas Bone, Soppeng dan Wajo dengan pintu keluarnya di muara Cenrana pada pesisir timur Sulawesi Selatan, akses langsung ke Teluk Bone. Di bagian barat dan utara danau besar terdapat sebuah aliansi lain, yakni Aja'tappareng (Bugis = sebelah barat danau). Persekutuan Aja'tappareng terdiri atas Sidenreng, Rappang, Sawitto dan Alitta yang pintu keluarnya terdapat di Suppa, jalur selat Makassar, sekitar Pare-pare sekarang (Pelras, 1981:177; Caldwell, 1995: 415;). Dan yang terakhir, tidak dapat disangkal lagi, suatu pertumbuhan yang progresif di selatan semenanjung: negara-negara para penutur bahasa Makassar yang menampilkan peran signifikan dari kerajaan kembar: Gowa dan Tallo.

Tradisi Tutur [Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang]

    Sayangnya, informasi tentang sumber-sumber sejarah Kerajaan Siang, tidak cukup dipunyai dari kronik-kronik Gowa. Sebaliknya, justru Pelras (1977: 243-254) agak lebih intensif menggambarkan situasi politik Siang. Untuk mengkonfirmasi catatan perjalanan pelaut Portugis dan mengisi kekosongan manuskrip, Pelras berusaha mengacu pada tradisi tutur.
    Demikian juga identifikasi Goedhardt (1933:179-200) juga mungkin telah menggunakan sumber-sumber sejarah kerajaan Siang lokal itu. Kombinasi antara sumber internal dan eksternal tersebut menjadi ilham Pelras membagi sejarah Siang ke dalam dua periode, sebagai koreksi atas kerancuan temporal. Periode pertama berkenaan dengan pendirian sebuah dinasti kuna, seperti layaknya negara-negara Bugis, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang. Sumber kami, M. Taliu yang dihubungi pada bulan September 1998 menyebut nama tokoh tersebut dengan Nasauleng yang bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang. Sumber tradisi lisan Pelras menyebutkan bahwa pengasas dinasti sumber-sumber sejarah kerajaan Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing-masing mendirikan kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila.
    Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras mengkonfirmasikan tradisi tersebut. bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa pada akhir abad XVI, adat Siang mengharuskan agar raja-raja dari negeri besar lain yang melintasi teritori Siang memberi hormat pada “Karaeng Siang”. Sebagai ilustrasi disebutkan bahwa nama Siang, secara etimologis berasal dari kata kasiwiang, yang berarti persembahan pada raja (hommage rendu a un souverain] (Pelras, 1977: 253).
    [Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang] Lama sesudah periode karaeng Siang, sebagaimana dikatakan Pelras, kita dihadapkan pada suatu «periode gelap» (dari pertengahan abad XVI sampai pertengahan abad XVII). Keterangan yang berhubungan dengan dinasti Siang Kuna menyebutkan bahwa pernah ada pergantian kekuasaan pasca-Siang kuna, yakni berdirinya Kerajaan Barasa yang berpusat di sekitar kota Pangkajene sekarang, di mana kekuasaan Barasa mengklaim sebagai pewaris Siang kuna. Kerajaan Barasa muncul setelah Siang ditaklukan Gowa pada masa pemerintahan Tumaparisi Kalonna (1510-1546) dan kedudukan menjadi vasal Gowa atau palili ata rikale. Kedudukan Kerajaan Barasa semakin kokoh setelah pengislaman dinasti Siang yang dilakukan pada periode Sultan Alauddin (1553-1639).
    Selanjutnya, Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang memasuki periode ketiga ditandai dengan kemunculan tiba-tiba nama Raja I Ba'le (orang dari seberang lautan) yang memakai gelar kurang bergengsi lo'mo dengan nama panggilan I Johoro [dari Johor, Malaysia] Konon, pelantikan I Johoro berlangsung di «Pariaman» (Sumatra Barat]. Ia mempunyai hubungan dengan keluarga raja Gowa. Dari identifikasi Goedhardt (1933), Pelras menginterpretasikan bahwa I Ba’le sesungguhnya hidup pada masa konflik Gowa dan Bone [166o-1669]. Pada masa itu orang Siang justru memihak kepada La Tenritatta [Arung Palakka). Uraian Goedhart dan Pelras konsisten dengan tradisi tutur yang populer dalam masyarakat Paccelang, yang nyatanya bersumber pada sebuah salinan lontara Makassar milik Bapak Baso Ujung Johar. Selain salinan lontara Siang, Baso Ujung Johar juga memegang pusaka Paccelang, berupa cinde yakni sebuah bendera berlambang sejenis macan di atas dasar kain putih.
    [Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang] Keberpihakan raja Siang baru, I Johoro, diduga akibat rivalitasnya dengan Gowa. selanjutnya dikatakan bahwa sebutan «Pariaman» dalam tradisi lisan itu sebagai implikasi bahwa 1 Johoro harus menemani La Tenriratta dalam ekspedisinya ke bagian barat Indonesia untuk meminta bantuan VOC. Penggantinya adalah I Bodo atau disebut juga Bete-Bete. Informan Pelras, Haji Kulle, menerangkan bahwa pada masa I Bodo telah datang seorang pemberani dan berpengaruh dari Malaysia bernama Ence Antong. Data itu menurut Pelras menunjukkan kekacauan informasi, bahwa yang dimaksud sebenamya adalah Antonio de Paiva (Pelras, 1977: 252-255).
    Dari sumber-sumber sejarah tradisi itu, Pelras (1977: 254-255) menyimpulkan bahwa pada saat kedatangan para pelaut dan pendeta Portugis [1542-1548], Kerajaan Siang sedang dalam keadaan menurun. Namun, pengaruhnya, seperti disebut dalam kesaksian Paiva, masih luas terasa di daerah-daerah yang jauh, antara lain Mandar dan Durate. Demikian pula Gowa, tradisi mempercayai, sebelum itu, sebagai salah satu vasal Siang. Namun, nyatanya, Siang hanya memelihara vasal yang dekat. Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa toponim sekitar Siang yang masih terikat pada otoritas Siang: Matojeng, Bunnea, Ma'duntu, Malise, dan Pasui [Pasai]

Sumber Asing [Sumber-sumber sejarah kerajaan Siang]

    Bagi para arkeolog, sudah tentu perubahan itu belum secara umum mewakili seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kasus pesisir barat misalnya, yang sejak periode arkaik I La Galigo, diasumsikan sebagai teritori Wewang Nriwu, mempunyai letak jauh lebih strategis dibandingkan dengan kerajaan «tertua» Luwu di Teluk Bone. Bila yang terakhir ini telah banyak menarik perhatian para arkeolog untuk melakukan survei dan ekskavasi, maka wilayah yang di sebelah selatannya diidentikkan sebagai pemukiman penutur bahasa Makassar, kecuali Gowa dan Tallo serta Bantaeng, secara luas masih terbatas pada penggalian sumber- sumber tekstual. Namun kelangkaan sumber itu pula yang menyebabkan orang sulit memasuki ruang kajian Siang dari sudut sejarah poltik-ekonorri. Oleh karena itu, kesaksian-kesaksian asing pertama menjadi sumbangan penting, terutama catatan-catatan perjalanan para musyafir dan misionaris Portugis di pelabuhan-pelabuhan pesisir barat, sebagai acuan awal kajian arkeologi.
Sekian artikel tentang sumber-sumber sejarah kerajaan siang, bagaimana sumber-sumber sejarah kerajaan siang yang dilihat dalam la galigo dan lontara. dan juga sumber-sumber sejarah kerajaan siang dilihat dari tradisi tuturnya. Terima kasih, Salam belajar dan tetap ikuti sistempengetahuansosial.com.
Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Siang


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Sistempengetahuansosial Updated at: 3:30:00 PM

Cari di Google