klik saja

Sistem Sosial Budaya Indonesia

Posted by

Bagaimanakah Sistem Sosial budaya Indonesia?

Artikel kami sistem pengetahuan sosial kali ini berisikan tentang informasi sistem sosial budaya indonesia atau yang lebih khususnya membahas sistem sosial kebudayaan Indonesia, Diharapkan artikel ini Sistem sosial budaya indonesia dapat memberikan informasi yang berguna dan bermanfaat untuk pembaca. ...Selamat membaca...
[Sistem Sosial Budaya Indonesia] Bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan nasionalnya senantiasa diilhami oleh pandangan hidup dan cita-cita nasional, serta selalu menyatu dengan lingkungannya. Dengan menghayati keberadaan diri dan memahami cita-citanya. Terpancarlah cara pandang atau wawasan tertentu yang memberi corak, pola pikir. Pola sikap dan pola tindak dalam menghadapi berbagai masalah nasional maupun global.
    Sejak berabad-abad lamanya lautan yang sangat luas, oleh manusia hanya dipandang sebagai kawasan perburuan untuk menangkap ikan atau sebagai media lalu lintas pelayaran belaka, namun pada abad 21 ini, kawasan laut telah merupakan kawasan penjelajahan akhir (the last frontier) di bumi sebagai upaya menguasai dan memanfaatkannya dan meningkatkan kehidupan yang lebih baik.
    Setelah berakhirnya perang dunia kedua, perhatian manusia terhadap laut semakin besar, hal ini disebabkan karena setelah perang berakhir muncul Negara-negara merdeka baru yang sebelumnya merupakan Negara terjajah. Negara baru ini seebagian besar memiliki eksistensi bangsa dan negaranya. Demikian juga akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya di bidang maritim, manusia telah mampu mengelola kekayaan alam laut bagi kesejahteraan umat manusia sendiri. Demikian pula persediaan bahan pangan laut dapat mengimbangi tuntutan kebutuhan pangan akibat pertambahan penduduk yang pesat.
    Dalam catatan sejarah, sistem sosial budaya indonesia terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang kita menguasai lautan nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas sampai ke Pesisir Madagaskar, namun belum ada bukti yang menunjukkan bahwa penguasaan atas laut itu didasarkan pada suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Penguasaan Lautan Nusantara oleh nenek moyang kita baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya maupun kerajaan-kerajaan Bugis, lebih merupakan suatu penguasan de facto (berdasarkan kenyataan) daripada penguasaan yang didasarkan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum (de jure). Walaupun demikian sejarah telah menunjukkan, bahwa sistem sosial budaya bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari., Namun oleh penjajahan, bangsa Indonesia didesak ke pedalaman yang pada akhirnya mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.
    Jika melihat kondisi kemaritiman sekarang yang semakin terpuruk, sistem sosial budaya indonesia memang agak mengherankan dan barangkali sulit kita mempercayainya jika ada informasi historis seperti tersebut di atas, dan informasi historis lainnya bahwa nenek moyang orang Bugis-Makassar pernah menjelajah ke berbagai belahan dunia (Singapura, Malaysia, Filipina dan Australia bahkan hingga ke India). Salah satu bukti sejarah keperantauan orang Bugis-Makassar adalah dikemukakan dalam Kepustakaan Malaysia bahwa Keturunan Sultan dan Pembesar Malaysia adalah Keturunan Bugis-Makassar, seperti Sultan Johor, Selangor, Trengganu dan Pahang.
    [Sistem Sosial Budaya Indonesia] Gervaise (1988), warga keturunan Belanda menggambarkan kehebatan pelabuhan Makassar pada abad XVII, sebagai pusat perdagangan di Kepulauan Indonesia. Letaknya paling sesuai untuk mengumpulkan bahan-bahan dari daerah lain, seperti Timor, Banda, Ambon, Ternate, Buton, Kalimantan, Kocincina dan Filipina. Sedang hasil yang diekspor dari Pulau Sulawesi sendiri adalah hasil bumi yang melimpah.
    Dengan menggunakan sumber Pustaka Sejarah Melayu, mengemukakan bahwa sebelum abad XVII (tepatnya abad XVI), Negeri Malaka pernah diserang oleh Karaeng Samarluka dari Negeri Balului (salah satu negeri di Makassar pada abad XVI), bersama armada berkekuatan 200 buah perahu. Mereka berlayar beberapa hari, dengan perlengkapan menuju Malaka, sebagai usaha untuk membuka jalur-jalur perdagangannnya. Sejarawan ataupun budayawan lainnya, seperti L.J.J. Caron Noorduyn senantiasa melukiskan bahwa orang Bugis-Makassar mempunyai sejarah pelayaran yang sudah tua dengan menggunakan perahu phinisi. Suku bangsa ini dikenal sebagai pelaut yang tangkas dan berani mengarungi lautan sampai ke Asia Tenggara dan Australia. Berlayar sebagai pedagang dan pengangkut hasil bumi. Sejak jauh sebelum masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan pada abad XVII, mereka sudah mengenal pantai Malaysia, Aceh, Borneo, Jambi, Banten, Nusantara, Maluku an Australia.
    Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, mengakibatkan tumbuhnya di Nusantara kerajaan-kerajaan maritim, termasuk di dalamnya Kerajaan Gowa. Dalam waktu yang relatif singkat tumbuh sebuah kerajaan raksasa maritim untuk menyaingi perdagangan rempah-rempah Portugis di Kepulauan Malaka. Pertumbuhan ini pula disusul oleh Kerajaan Bone pada paruh pertama abad XVII di Teluk Bone. Keadaan ini pula yang didapati oleh VOC, sejak mengalahkan dominasi Portugis di Indonesia Bagian Timur.
    Sesudah Gowa dikalahkan, oleh kolonial pada paruh kedua abad XVII, maka Kerajaan Gowa didesak untuk mengubah kegiatannya menjadi Kerajaan Agraris. Disusul oleh kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Semenjak itu kegiatan pasompe dilakukan oleh penduduk dengan pengawasan yang ketat dan dengan segala pembatasan dari pemerintah kolonial. Keadaan ini berlanjut sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang disusul dengan revolusi fisik. Kemudian diikuti dengan berbagai macam kegiatan dan situasi yang belum memungkinkan untuk bangkitnya suatu kegiatan kemaritiman yang memadai seperti sedia kala. Dengan demikian kunci utama dalam pengembangan kemaritiman dan pertanian pada umumnya di Sulawesi Selatan berada di tangan pasompe sebagai pelaku ekonomi yang menguasai perdagangan dalam mentransfer hasil-hasil bumi lautan dan terutama hasil-hasil bumi daratan.
    [Sistem Sosial Budaya Indonesia] Provinsi Sulawesi Selatan dengan ibu Kota Makassar berbatasan dengan Sulawesi Barat pada bagian Utaranya, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara pada bagian Timurnya dan Selat Makassar serta Laut Flores di bagian Barat dan Selatannya. Dengan demikian secara geografis mulai dari Teluk Bone di bagian Timur dan Laut Flores di bagian Selatan serta Selat Makassar di bagian Barat, sekurang-kurangnya sebagian dari wilayah itu merupakan potensi kemaritiman Sulawesi Selatan, baik itu untuk pengelolan perikanan, transportasi, perdagangan regional maupun untuk kegiatan pertambangan dan energi “alam laut” yang hingga kini belum mendapatkan perhatian dan keberpihakan yang serius dalam upaya pengembangan dan pendayagunaan.
    Potensi kemaritiman yang telah digarap di Sulawesi Selatan masih terbatas pada perikanan tangkap-laut dan perikanan darat. Perikanan tangkap di Sulawesi Selatan terdapat pada 18 kabupaten/kota (kecuali kabupaten Gowa, Soppeng, Sidrap, Enrekang dan Tana Toraja). Potensi kemaritiman lainnya yang juga telah digarap adalah potensi Pelabuhan, Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan (TPI) dan objek wisata bahari. Potensi kemaritiman lainnya yang sama sekali belum tergarap adalah potensi pertambangan dan energi laut. Permukaan laut yang begitu luas dengan segala potensi tambang dan energi yang ada di dalamnya, di sekitar perairan Selat Makassar, Laut Flores, Teluk Pare-pare dan Teluk Bone sama sekali belum digarap, singkatnya dalam konteks pertambangan “Kita sama sekali belum berladang di laut”, begitu pula dalam konteks energi alam laut juga sama sekali belum kita sentuh terutama dalam kaitannya pemanfaatan angin laut, gelombang laut, arus laut, perbedaan tekanan dalam air laut dan sebagainya.
Demikian pembahasan kami kali ini, semoga sistem sosial budaya indonesia ini dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih dan tetap ikuti http://www.sistempengetahuansosial.com/
Sistem Sosial Budaya Indonesia


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Sistempengetahuansosial Updated at: 3:30:00 PM

Cari di Google