Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur
Berikut ini sistem pengetahuan sosial membagikan pengetahuan tentang ekosistem hutan bukit kapur atau biasa disebut ekosistem kars. Semoga dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat untuk pembaca. marilah kita menyimak ekosistem hutan bukit kapur. ..selamat membaca..
Ekosistem Kars
Masalah kawasan kars beserta ekosistem hutan bukit kapur yang ada di atasnya telah menjadi perhatian para ahli dan pemerintah pada dekade terakhir ini. Begitu pentingnya suatu ekosistem kars terhadap lingkungan, dan karena tingkat kerawanannya lerhadap kerusakan sangat tinggi, tetapi sekaligus mempunyai potensi tambang semen dan marmer yang menggiurkan, menyebabkan pemerintah memandang perlu untuk menjadikan kawasan kars sebagai kawasan lindung.
Proses Pembentukan Batuan Karbonat
Ekosistem hutan Bukit kapur yang biasa kita lihat di beberapa tempat seperti di Bantimurung, Gunung Sewu ataupun Pacitan, merupakan perbukitan yang batuan induknya didominasi oleh batuan karbonat atau gamping. Batuan karbonat atau biasa disebut batu gamping atau dolomit, merupakan jenis batuan sedimen yang umumnya terbentuk di lingkungan perairan laut dangkal yang bersuhu hangat, di mana masih terdapat sinar Matahari yang bisa menembus kedalaman air (Samodra, 2001). Selain itu, batuan karbonat juga diendapkan di danau air tawar. Jika air panas bercampur CaC03 mencapai permukaan Bumi (pada mata air panas), air campuran tersebut akan menguap dan meninggalkan produk berupa mineral kalsit yang membentuk batu gamping yang disebut travertine.
Batuan karbonat umumnya tersusun atas dua jenis ba¬tuan, yaitu (1) limestone atau batu kapur/gamping, yang terdiri atas mineral calcite (CaC03) atau Mg Calcite (MgC03), dan (2) dolostone, yang sebagian besar terdiri atas mineral dolomite [CaMg(C03)2], Batuan karbonat ini mudah diamati karena sifatnya yang sangat mudah bereaksi dengan HC1 dan jika melapuk akan berwama putih atau abu-abu, sedangkan dolostone tidak akan bereaksi dengan HC1, kecuali berupa serbuk dan akan berwama coklat jika melapuk. Warna coklat ini adalah warna Fe yang terbentuk untuk menggantikan Mg .
Batuan karbonat memiliki kandungan material karbonat lebih dari 50%, yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986), serta (Bates & Jackson, 1987). Sedangkan batu gamping adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95% (Reijers & Hsu, 1986). Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua batuan karbonat adalah batu gamping.
Sedimen karbonat moderen umumnya hanya tersusun dari dua mineral, yakni aragonit dan kalsit (Tucker and Wright, 1990). Jenis kalsit yang menyusun terdiri atas dua kelas, yakni kalsit dengan kandungan magnesium rendah (< 4 mole % MgCO3) dan kalsit dengan kandungan magnesium tinggi (> 4 mole % MgC03). Aragonit dan kalsit dengan magnesium tinggi kurang stabil dibandingkan dengan kalsit dengan magne¬sium rendah. Di bawah kondisi diagenesis normal, aragonit dan kalsit dengan magnesium tinggi akan digantikan dengan kalsit dengan magnesium rendah. Namun demikian, ketiganya dapat digantikan oleh dolomit, sehingga hampir semua batu gamping yang tercatat terdiri atas kalsit dengan magnesium rendah atau dolomit.
[Ekosistem hutan bukit kapur] Normalnya, batuan karbonat hanya terdiri atas Mg-kalsit rendah dengan komponen aragonit asli digantikan oleh kalsit dan magnesium yang terlarut dari Mg-kalsit tinggi yang asli. Sangat jarang aragonit dipertahankan (terlindungi), tetapi ia biasanya dalam bentuk butiran halus batu gamping yang impermeabel atau bentuk mudstone. Mudstone ditemukan pada semua litologi dalam jumlah yang berlimpah, tetapi sangat sukar dideskripsikan di lapangan karena ukuran partikelnya (butirnya) sangat kecil. Mudstone umumnya dikelompokkan ke dalam sedimen silt dengan ukuran partikel (4-62 µm) dan clay (<4 µm). Pada beberapa batu gamping yang mempunyai lubang, fosil aragonit asli dan ooids telah terlarutkan. Perubahan diagenetik lainnya yang penting adalah dolominisasi dan silisifikasi.
Tucker (1996) dan Tucker and Wright (1990) menjelaskan bahwa ada 3 komponen utama yang menyusun batu gamping, yakni:
1). Non-Skeletal grain, terdiri atas:
a. Ooid dan Pisoid
Ooid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat atau elips yang punya satu atau lebih struktur lamina yang konsentris dan mengelilingi inti. Inti penyusun biasanya partikel karbon¬at atau butiran kuarsa (Tucker, 1991). Ooid memiliki ukuran butir < 2 mm dan apabila memiliki ukuran > 2 mm maka disebut pisoid.
b. Peloid
Peloid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat, elipsoid atau merincing yang tersusun oleh mikrit dan tanpa struktur internal. Ukuran peloid antara 0,1 - 0,5 mm. Kebanyakan peloid ini berasal dari kotoran (faecal origin) sehingga disebut pellet.
c. Agregat dan Intraklas
Agregat merupakan kumpulan dari beberapa macam butiran karbonat yang tersemenkan bersama-sama oleh se¬men mikrokristalin atau tergabung akibat material organik. Sedangkan intraklas adalah fragmen dari sedimen yang sudah terlitifikasi atau setengah terlitifikasi yang terjadi akibat pelepasan air lumpur pada daerah pasang surut atau tidal flat.
2). Skeletal Grain
Skeletal grain adalah butiran cangkang penyusun batuan karbonat yang terdiri atas seluruh mikrofosil, butiran fosil, maupun pecahan dari fosil-fosil makro. Cangkang ini merupakan allochem yang paling umum dijumpai dalam batu gamping (Boggs, 1987). Komponen cangkang pada batu gamping juga merupakan penunjuk pada distribusi invertebrata penghasil karbonat sepanjang waktu geologi.
3). Lumpur Karbonat atau Mikrit
Mikrit merupakan matriks yang biasanya berwarna gelap. Pada batu gamping hadir sebagai butir yang sangat halus. Mikrit memiliki ukuran butir kurang dari 4 mikrometer. Pada studi mikroskop elektron menunjukkan bahwa mikrit tidak homogen dan menunjukkan adanya ukuran kasar sampai halus dengan batas antara kristal yang berbentuk planar, melengkung, bergerigi ataupun tidak teratur. Mikrit dapat mengalami alterasi dan dapat tergantikan oleh mozaik mikrospar yang kasar.
4). Semen
Semen terdiri atas material halus yang menjadi pengikat antarbutiran dan mengisi rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks. Semen dapat berupa kalsit, silika, oksida besi ataupun sulfat.
Pembentukan batuan karbonat di dasar laut dapat mencapai ukuran yang sangat luas dengan ketebalan batuan yang tersingkap di daratan dapat mencapai dua kilomater. Batuan karbonat ini muncul di atas permukaan laut berupa bukit atau gunung, setelah mengalami pengangkatan melalui proses tektonik, baik secara epirogenesis, orogenesis, dalam bentuk pelipatan maupun patahan.
Proses Pengangkatan dan Pembentukan ekosistem hutan Bukit Kapur
Pembentukan topografi atau bentang alam seperti pegunungan disebabkan oleh proses pengangkatan karena adanya pengaruh gaya geologi (Katili dan Marks, 1969). Gaya geologi yang bekerja tersebut mempengaruhi perubahan muka bumi baik bersifat membangun (konstruktif) maupun merusak (destruktif). Gaya geologi ini dapat berasal dari dalam bumi (tenaga endogen) atau berasal dari luar bumi (tenaga eksogen).
Tenaga endogen adalah gaya yang bekerja dari dalam bumi, yang merupakan kekuatan pergerakan bumi (diastropisme) yang berlangsung sangat lambat namun kekuatannya sangat hebat. Tenaga ini mengakibatkan terbentuknya bentang alam (perubahan muka bumi) melalui proses orogenesa, vulkanisma dan tektonika.
Tektonisme adalah proses pergerakan atau pergeseran pada kerak bumi (kerak batuan dan kerak samudera) dalam bentuk tumbukan, pemekaran, dan perpapasan yang menimbulkan perubahan muka bumi seperti bentuk pegunungan, perbukitan, lembah-lembah, lipatan-lipatan dan retakan atau patahan (Katili dan Marks, 1969). Proses tektonisme juga menyebabkan terjadinya berbagai fenomena geologi seperti gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. Proses tektonisme dibedakan atas dua bagian, yakni epirogenetik dan orogenetik.
Epirogenetik adalah pengangkatan dan penurunan kontinen atau subkontinen, yakni gerak yang dapat menyebabkan permukaan bumi turun atau naik. Pergerakan turun atau naiknya permukaan bumi ini berlangsung dalam waktu yang lambat dan meliputi daerah yang luas. Gerak epirogenetik dapat berupa gerak epirogenetik positif dan gerak epirogenetik negatif. Gerak epirogenetik positif adalah gerakan permukaan bumi ke arah menurun sehingga seolah-olah permukaan air laut naik, sedangkan gerak epirogenetik negatif adalah gerak permukaan bumi ke arah naik sehingga seolah-olah permukaan air laut turun.
Orogenesa (orogenesis) merupakan proses pembentukan pegunungan akibat pengaruh gaya endogen yang berupa tekanan/tumbukan (horisontal) dan pengangkatan (vertikal) se¬hingga terbentuk pegunungan lipatan maupun pegunungan patahan.
[Ekosistem hutan bukit kapur] Lipatan adalah gerakan pada lapisan bumi yang tidak terlalu besar dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan lapisan kulit bumi berkerut atau melipat. Kerutan atau lipatan bumi inilah yang nantinya akan menjadi pegunungan lipatan. Punggung lipatan dinamakan antiklinal, daerah lembah dinamakan sinklinal, dan sinklinal yang terbentuk sangat luas dinamakan geosinklinal. Bentuk lipatan dapat dikelompokkan ke dalam lipatan tegak, miring, rebah, menggantung, isoklin dan kelopak. contoh hasil pelipatan batuan permukaan bumi yang memperlihatkan skema proses pembentukan pegunungan akibat gaya eksogen.
Pada hal batuan karbonat tersebut sebelumnya hanya berada di lapisan ketiga. Itulah sebabnya batuan karbonat formasi Tonasa misalnya, tidak seluruhnya lerlihat di atas permukaan, tetapi muncul berupa singkapan di beberapa tempat, seperti Area Barra, Segeri, Pangkajene (dikenal dengan kars Maros-Pangkep) dan Jeneponto.
Gerakan pada lapisan bumi yang sangat besar dan berlangsung dalam waktu yang sangat cepat, akan menyebabkan lapisan kulit bumi retak atau patah. Bagian muka bumi yang mengalami patahan dan terangkat ke atas disebut horst, sedangkan bagian patahan yang mengalami penurunan disebut graben.
Batuan yang mengalami patahan akan menyebabkan terbentuknya topografi secara langsung walaupun belum dipengaruhi oleh gaya eksogen, sebagai akibat adanya peng¬angkatan atau penurunan. Graben akan membentuk lembah, sedangkan horst akan membentuk puncak gunung.
Proses patahan pada ekosistem hutan bukit kapur juga akan menyebabkan tersingkapnya batuan yang dahulunya berada di lapisan bawah. Juga memperlihatkan bagaimana sebagian batuan pada lapisan kedua (putih) dan lapisan ketiga (berada di bawah lapisan putih) mengalami singkapan pada daerah patahan yang telah mengalami pengangkatan.
[Ekosistem hutan bukit kapur] Setelah proses pelipatan maupun patahan terbentuk, selanjutnya akan dipengaruhi oleh gaya eksogen, yakni gaya yang bekerja pada kulit bumi yang berasal dari luar bu¬mi sebagai akibat adanya aktivitas atmosfer, hidrosfer, dan biosfer. Gaya ini mengakibatkan perusakan atau perombakan muka bumi melalui proses pelapukan, erosi, tanah longsor, dan sebagainya. Akibat pengaruh gaya eksogen dalam waktu yang lama, pegunungan lipatan dan pegunungan patahan menemukan bentuknya yang sempuma.
Katili dan Marks (1969) menjelaskan bahwa kenampakan morfologi pegunungan lipatan sangat berbeda dengan ke¬nampakan morfologi pegunungan patahan. Pegunungan li¬patan umumnya berbukit-bukit terjal, dengan lembah-lembah yang panjang. Pegunungan lipatan juga dicirikan oleh adanya perulangan antara lembah lebar dan lembah sempit akibat perbedaan kekerasan batuan, serta adanya gawir terjal dan pegunungan landai pada hogbacks atau homoclinal ridges.
Sketsa Morfologi Pegunungan Lipatan (Katili dan Marks, 1969)
Pada pegunungan patahan, gawir-gawir terjal yang me¬misahkan antara satu blok pegunungan dengan blok yang lain atau antara blok pegunungan dengan blok lembah sangat jelas pada fase awal. Umumnya bidang gawir tajam relatif rata, belum tersayat oleh lembah-lembah. Bentuk blok dapat persegi, berundak, atau membaji. Pada tahapan dewasa terlihat adanya pengikisan pada bagian muka atau punggungan blok dengan beberapa kenampakan bagian muka dari blok masih lebih terjal daripada bagian punggung, serta masih terlihat adanya kelurusan garis dasar sesar.
Batuan karbonat yang tersingkap di permukaan setelah melalui proses pengangkatan dan kemudian menjadi perbukitan kapur, mempunyai karakteristik topografi yang khas, yakni mempunyai kelerengan yang terjal serta relief dan drainase yang spesifik sebagai akibat derajat proses pelarutan batuannya (karsifikasi) yang lebih besar dibandingkan dengan derajat pelarutan pada batuan bukan karbonat (Sumarja, 1999). Itulah sebabnya kenampakan morfologi perbukitan kapur sangat berbeda dengan kenampakan morfologi perbukitan lainnya yang batuannya bukan kapur.
Menurut Anwar dkk (1984), ada dua tipe perbukitan ka¬pur yang bisa ditemui terungkap di permukaan, yakni perbukitan kapur berbentuk “tower” atau “menara” seperti yang ada di wilayah kars Maros-Pangkep, dan perbu¬kitan kapur berbentuk “kokpit” seperti perbukitan kapur yang ditemukan di Bohol, Filipina atau perbukitan kapur yang ada di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Karsifikasi adalah proses pelarutan dan erosi mineral karbonat pada batuan kapur, sehingga terbentuk morfologi/ bentang alam yang khas yang biasa disebut morfologi kars. Proses ini merupakan proses diagenesis pada lingkungan diagenetik meteorik vedosa. Ada dua hal pokok yang berpengaruh dalam pembentukan morfologi kars, yakni kehilangan CaC03 akibat pelarutan dan keluamya CaC03 oleh erosi mekanik.
Hal tersebut di atas menggambarkan bahwa pembentukan kars 'ekosistem hutan bukit kapur' umumnya disebabkan oleh pelarutan batuan yang tersusun oleh mineral-mineral yang meta stabil. Setelah menga¬lami pelarutan, proses selanjutnya adalah terjadinya migrasi ion dalam bentuk erosi sehingga meninggalkan pori yang lama kelamaan akan menjadi besar, dan pada akhirnya menjadi gua. Proses ini terjadi jika batuan yang mengalami karsifikasi dalam keadaan tidak jenuh oleh unsur yang melarutkannya, dalam hal ini air hujan yang membawa C02 dari udara.
Whitten dkk (1987) dan Vermeulen and Whitten (1999) menyatakan bahwa topografi kars merupakan batuan karbonat (CaC03 atau MgC03) atau campuran dari keduanya, yang telah mengalami proses pelarutan oleh C02 atmosfir melalui air hujan, maupun C02 biogenik yang berasal dari sisa tanaman atau humus. Pada umumnya topografi kars dicirikan oldi morfologi yang khas, yaitu berupa kumpulan perbukitan yang tingginya ± 300 m, dinding bertebing tegak terpisah-pisah dengan sisi-sisi yang terjal (60-900) bertekstur kasar, mempunyai retakan-retakan hingga rongga-rongga (sink ho- les), gua-gua (caves) dan biasanya membentuk aliran sungai di bawah tanah serta mata air.
Menurut Esteban and Klappa (1983), karakteristik kars 'ekosistem hutan bukit kapur' dapat dikenali dari kenampakan permukaannya yang berupa Lavies, dolina, dan poljes, sedangkan kenampakan bawah permukaan dalam bentuk pori, gua, vug, dan saluran di dalam gua, terdapat speleotem dalam bentuk stalagtit, stalagmit. flowstone, rimstone, giobulit, cave pearis/mutiara gua, lily pad, helictit dan moon-like, serta adanya collapse struktur (runtuhan) sebagai akibat hilangnya bagian bawah tubuh batuan.
Secara vertikal, tubuh kars dapat dibagi dalam dua lapisan atau zona (Esteban and Klappa, 1983), yakni:
a) Zona Inviltrasi (Upper Vadosa Zone), dicirikan oleh permukaan bentang alam dengan atau tanpa penutup tanah (pada batuan karbonat yang biasanya ditutupi oleh algae), protosoil, dan oleh perkembangan gua secara vertikal. Kebanyakan speloterm mempunyai kristal dalam ukuran halus (moon-like) akibat korosi dan pengikisan yang intensif terhadap dinding batuan. Kenampakan moon-like ini disebabkan oleh kristal-kristalnya dalam ukuran kecil seperti jarum (needlefiber) dengan komposisi low magnesian kalsit (LMC). Hasil akhir dari zona ini adalah akumulasi pada dinding dan lantai gua berupa endapan-endapan bersifat kapur berwama putih, ukuran halus yang ditumbuhi oleh fungi dan bakteri. Proses yang dominan pada zona ini adalah physicochemical dissolution, bioerosion akibat kegiatan organik yang intensif serta collapse breccia yang melimpah hingga kedalaman 20 meter.
b) Zone Perkolasi (Lower Vadosa Zone), dicirikan oleh pergerakan vertikal air, sedikit dissolusi kecuali pada daerah bawah sinkhole, ditutupi oleh tanah yang tipis dan rekahan terbuka.
Proses Karsifikasi
Ada dua faktor yang mengontrol proses karsifikasi untuk membentuk topografi kars 'ekosistem hutan bukit kapur', yakni (1) faktor luar (extrinsic) yang meliputi iklim (curah hujan, evaporasi, temperatur), gaya leklonik, vegetasi/organisme dan waktu; (2) faktor dalam (intrinsic) meliputi litologi dan komposisi mineral, pabric dan tekstur, permeabilitas, rekahan, dan porositas.
1) Faktor Luar (extrinsic) [Ekosistem hutan bukit kapur]
a. Iklim
Iklim adalah faktor extrinsic yang paling dominan dalam mempengaruhi perkembangan kars 'ekosistem hutan bukit kapur'. Faktor iklim yang paling berperan dalam proses ini adalah air hujan. Hal ini terbukti pada kars yang berkembang baik pada daerah tropik dengan email hujan dan kelembaban yang tinggi, serta bervegetasi lebat. Air sebagai media pelarut, ditambah dengan temperatur yang tinggi akan memudahkan batuan karbonat untuk melarut. Ford (1988) menjelaskan bahwa air hujan yang mempunyai pH antara 5,5 - 9,5 merupakan angka yang dapat melarutkan kalsit dan dolomit. Secara sederhana, reaksi yang terjadi antara air murni dengan CaC03 adalah
CaC03 + H20 4 ↔ Ca2+ + HC03 + OH
Reaksi ini seimbang dengan 12-15 mg/1 CaC03 dalam larutan tersebut. Namun demikian, perlu diketahui bahwa udara yang dilewati oleh air hujan sebelum menyentuh permukaan haluan mengandung C02. Hal ini menghasilkan asam karbonik yang akan mempercepat pelepasan proton sehingga reaksi menjadi
3 CO2 (terlarut) + H2O ↔ H+ + HCO3
Jika larutan ini jatuh ke permukaan batu gamping (CaCO3), maka reaksinya akan menjadi:
CaC03+C02(terlarut) + H20 ↔ Ca2+ + 2HCO3
b. Tektonisme
Tektonik sebagai penyebab terangkatnya suatu tubuh batuan ke atas permukaan laut, memegang peranan penting dalam proses pembentukan kars. Dengan terangkatnya batuan karbonat dari dasar laut ke daratan, maka proses diagenesis oleh air hujan dimulai. Akibat gaya tektonik, akan membentuk struktur batuan berupa rekahan dan/atau patahan. Struktur tersebut akan mempertinggi permeabilitas dan porositas batuan yang selanjutnya akan menjadi media pengaliran air masuk ke dalam tubuh batuan dan pada akhimya akan mempertinggi tingkat pelarutan. Jika air hujan tersebut jatuh pada rekahan yang merupakan media yang baik untuk penyaluran air hujan, maka hal ini akan mempermudah melarutkan mineral di sekitamya. Pada daerah-daerah seperti ini proses alterasi berjalan dengan cepat yang memungkinkan terbentuknya sinkhole (dolina) dan collapse brecias (runtuhan batuan) dengan baik. Duration of exposure (lamanya waktu tersingkap) dari batuan karbonat juga memegang peranan terhadap proses perkembangan kars. Semakin lama batuan tersebut tersingkap, maka semakin intens proses diagenesa yang terjadi dan akan menuju pada proses maturasi kars 'ekosistem hutan bukit kapur'.
c. Vegetasi
Vegetasi dan organisme hewan juga mempunyai peranan yang besar dalam proses karsifikasi batuan karbonat sehingga berkembang menjadi kars. Vegetasi berperan dalam proses karsifikasi batu gamping karena pelapukan bahan organik dari tumbuhan dan hewan, akan menghasilkan asam organik yang mampu melakukan pelarutan kimiawi terhadap mineral kalsium setelah bercampur dengan air hujan, sehingga per¬kembangan gua dan ornamennya terus berlangsung (Ko, 2006).
Semakin lebat suatu tutupan vegetasi, peranannya terhadap proses karsifikasi semakin besar sebagai akibat dari produksi bahan organik yang menghasilkan asam lemah. Hal ini dapat terlihat hahwa proses karsifikasi yang sempuma umumnya terjadi pada daerah tropik yang mempunyai tutupan vegetasi yang lebat akibat curah hujan yang tinggi.
2) Faktor Dalam (intrinsic) [Ekosistem hutan bukit kapur]
a. Litologi dan Komposisi Mineral
Litolologi atau yang lebih spesifik yakni fasies merupakan kontrol solubilitas yang penting pada batuan karbonat. Fasies yang disusun oleh komponen dari organisme akan memberikan perbedaan komposisi mineral dalam batuan dibandingkan dengan fasies yang disusun oleh komponen yang bukan berasal dari organisme. Minerologi butiran dan minerologi organisme berbeda antara satu dengan yang lainnya. Koral yang mempunyai minerologi aragonit mempunyai tingkat solubilitas yang relatif tinggi dibanding dengan alga merah yang mempunyai minerologi kalsit.
b. Pabric dan Tekstur
Pabrik dan tekstur berhubungan langsung dengan porositas dan permeabilitas. Pergerakan air dalam batuan tergantung bagaimana kondisi permeabilitas dan porositas batuan. Interconected porosity mempunyai kemungkinan melarutkan komponen bagian dalam batuan lebih tinggi dibanding dengan isolated porosity. Batuan yang mempunyai permeabilitas yang tinggi kemungkinan akan terkarsifikasi lebih baik dengan batuan yang rendah permeabilitasnya.
c. Permeabilitas
Permeabilitas merupakan efisiensi batuan untuk menyalurkan air. Permeabilitas primer adalah kemampuan batuan untuk menyalurkan air melalui pori-pori atau ruangan intergranuler yang sudah ada sejak pembentukannya dan saling berhubungan. Permeabilitas sekunder bila penyaluran air itu melewati ruangan-ruangan yang timbul kemudian, seperti joint, bedding, fault, misalnya akibat gerakan tektonik.
Suatu kawasan kars 'ekosistem hutan bukit kapur', permeabilitas dan porositas ini sangat variabel, karena tidak terlepas dari keanekaragaman struktur dan diagenesis batu gamping. Pada bagian batu gamping yang telah mengalami karsifikasi, biasanya permeabilitas dan porositas primemya rendah, tetapi permeabilitas dan porositas sekundemya tinggi. Pada batu gamping tidak mengalami karsifikasi, permeabilitas dan porositas tinggi dan tidak dijumpai permeabilitas sekunder.
Pada batu gamping terdapat aliran difusi (diffuse flow). Pada batuan karbonat yang telah mengalami karsifikasi, yang menonjol ialah terbentuknya saluran-saluran terpilih (prefered channels) yang meluruskan air ke arah local base level atau zona phreatik. Permeabilitas umumnya dinyatakan dengan jarak yang ditempuh air dalam suatu permeabilitas tertentu dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan.
d. Rekahan
Rekahan pada batuan karbonat merupakan tempat mengalirnya air dan jika terjadi terus-menerus akan menjadi jalan bagi pengaliran dalam batuan karbonat (Erdelyi & Galfi, 1988). Selanjutnya rekahan dapat membesar oleh pelarutan sehingga permeabilitasnya juga dapat meningkat.
e. Porositas
Porositas menunjukkan ruangan yang terisi oleh udara atau air dalam batuan atau sedimen, diungkapkan dalam persen dari jumlah total material. Untuk kepentingan hidrologi yang perlu diperhatikan ialah ruangan-ruangan yang saling berhubugan, karena pori-pori yang terisolasi tidak berperan dalam perpindahan air.
Porositas primer dalam batuan karbonat ialah ruangan-ruangan terbuka dalam batuan tersebut, yang sudah timbul sejak deposisi, di agenesis, dan litifikasi. Porositas sekunder ialah jumlah ruangan terbuka dalam batuan yang ditimbulkan oleh proses pasca litifikasi seperti fruktuasi (joint, flauts, parting) atau akibat terjadinya pelarutan (solution cavities). Semakin besar porositas suatu batuan karbonat, maka proses inflitrasi masuk ke dalam tubuh batuan juga semakin besar, sehingga mempengaruhi kecepatan pelarutan mineral karbonat pada dinding pori
Formasi Tonasa yang berumur Eocene sampai Miocene awal atau 56-18 juta tahun yang lalu, terdiri atas: (1) batu gamping koral pejal, sebagian terhablurkan, berwama putih dan kelabu muda, (2) batu gamping bioklastika dan kalkarenit, berwama putih, co¬klat muda dan kelabu muda (3) batu gamping berlapis, sebagian banyak mengandung foraminifera besar (Sukamto,1982; Yuswono dkk, 1985).
Hasil rekonstruksi Wil¬son et al. (2000), menunjukkan bahwa pada bagian Utara (Tonasa II) dan bagian Selatan (Pattunuang Asues) dari area Pangkajenne semasa pembentukannya di bawah laut dangkal merupakan wilayah yang mempunyai kondisi dengan energi yang rendah sampai sedang dengan kedalaman yang dangkal sampai sedang pada zone photic. Hal ini dicirikan oleh dominannya fasies mudstone dan wackestone yang saat ini menduduki areal tersebut.
Sebaliknya pada bagian tengah (Tonasa I) mempunyai kondisi dengan energi yang sedang sampai tinggi, yang saat ini dicirikan oleh kehadiran fasies batuan karbonat. yang didominasi oleh grainstones dan packstones di wilayah tersebut, yang dikelompokkan ke dalam fasies batuan karbonat berlapis dan meta gamping.
Sumber: Buku Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur Oleh Prof. Amran Achmad., Brillian Internasional.
Demikianlah artikel ekosistem hutan bukit kapur yang bisa dibagikan pada postingan kali ini, semoga bermanfaat dan dapat membantu pembaca sekalian. Terima kasih, Salam belajar dan tetap ikuti http://www.sistempengetahuansosial.com/
Proses Pembentukan Batuan Karbonat
Ekosistem hutan Bukit kapur yang biasa kita lihat di beberapa tempat seperti di Bantimurung, Gunung Sewu ataupun Pacitan, merupakan perbukitan yang batuan induknya didominasi oleh batuan karbonat atau gamping. Batuan karbonat atau biasa disebut batu gamping atau dolomit, merupakan jenis batuan sedimen yang umumnya terbentuk di lingkungan perairan laut dangkal yang bersuhu hangat, di mana masih terdapat sinar Matahari yang bisa menembus kedalaman air (Samodra, 2001). Selain itu, batuan karbonat juga diendapkan di danau air tawar. Jika air panas bercampur CaC03 mencapai permukaan Bumi (pada mata air panas), air campuran tersebut akan menguap dan meninggalkan produk berupa mineral kalsit yang membentuk batu gamping yang disebut travertine.
Batuan karbonat umumnya tersusun atas dua jenis ba¬tuan, yaitu (1) limestone atau batu kapur/gamping, yang terdiri atas mineral calcite (CaC03) atau Mg Calcite (MgC03), dan (2) dolostone, yang sebagian besar terdiri atas mineral dolomite [CaMg(C03)2], Batuan karbonat ini mudah diamati karena sifatnya yang sangat mudah bereaksi dengan HC1 dan jika melapuk akan berwama putih atau abu-abu, sedangkan dolostone tidak akan bereaksi dengan HC1, kecuali berupa serbuk dan akan berwama coklat jika melapuk. Warna coklat ini adalah warna Fe yang terbentuk untuk menggantikan Mg .
Batuan karbonat memiliki kandungan material karbonat lebih dari 50%, yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986), serta (Bates & Jackson, 1987). Sedangkan batu gamping adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95% (Reijers & Hsu, 1986). Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua batuan karbonat adalah batu gamping.
Sedimen karbonat moderen umumnya hanya tersusun dari dua mineral, yakni aragonit dan kalsit (Tucker and Wright, 1990). Jenis kalsit yang menyusun terdiri atas dua kelas, yakni kalsit dengan kandungan magnesium rendah (< 4 mole % MgCO3) dan kalsit dengan kandungan magnesium tinggi (> 4 mole % MgC03). Aragonit dan kalsit dengan magnesium tinggi kurang stabil dibandingkan dengan kalsit dengan magne¬sium rendah. Di bawah kondisi diagenesis normal, aragonit dan kalsit dengan magnesium tinggi akan digantikan dengan kalsit dengan magnesium rendah. Namun demikian, ketiganya dapat digantikan oleh dolomit, sehingga hampir semua batu gamping yang tercatat terdiri atas kalsit dengan magnesium rendah atau dolomit.
[Ekosistem hutan bukit kapur] Normalnya, batuan karbonat hanya terdiri atas Mg-kalsit rendah dengan komponen aragonit asli digantikan oleh kalsit dan magnesium yang terlarut dari Mg-kalsit tinggi yang asli. Sangat jarang aragonit dipertahankan (terlindungi), tetapi ia biasanya dalam bentuk butiran halus batu gamping yang impermeabel atau bentuk mudstone. Mudstone ditemukan pada semua litologi dalam jumlah yang berlimpah, tetapi sangat sukar dideskripsikan di lapangan karena ukuran partikelnya (butirnya) sangat kecil. Mudstone umumnya dikelompokkan ke dalam sedimen silt dengan ukuran partikel (4-62 µm) dan clay (<4 µm). Pada beberapa batu gamping yang mempunyai lubang, fosil aragonit asli dan ooids telah terlarutkan. Perubahan diagenetik lainnya yang penting adalah dolominisasi dan silisifikasi.
Tucker (1996) dan Tucker and Wright (1990) menjelaskan bahwa ada 3 komponen utama yang menyusun batu gamping, yakni:
1). Non-Skeletal grain, terdiri atas:
a. Ooid dan Pisoid
Ooid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat atau elips yang punya satu atau lebih struktur lamina yang konsentris dan mengelilingi inti. Inti penyusun biasanya partikel karbon¬at atau butiran kuarsa (Tucker, 1991). Ooid memiliki ukuran butir < 2 mm dan apabila memiliki ukuran > 2 mm maka disebut pisoid.
b. Peloid
Peloid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat, elipsoid atau merincing yang tersusun oleh mikrit dan tanpa struktur internal. Ukuran peloid antara 0,1 - 0,5 mm. Kebanyakan peloid ini berasal dari kotoran (faecal origin) sehingga disebut pellet.
c. Agregat dan Intraklas
Agregat merupakan kumpulan dari beberapa macam butiran karbonat yang tersemenkan bersama-sama oleh se¬men mikrokristalin atau tergabung akibat material organik. Sedangkan intraklas adalah fragmen dari sedimen yang sudah terlitifikasi atau setengah terlitifikasi yang terjadi akibat pelepasan air lumpur pada daerah pasang surut atau tidal flat.
2). Skeletal Grain
Skeletal grain adalah butiran cangkang penyusun batuan karbonat yang terdiri atas seluruh mikrofosil, butiran fosil, maupun pecahan dari fosil-fosil makro. Cangkang ini merupakan allochem yang paling umum dijumpai dalam batu gamping (Boggs, 1987). Komponen cangkang pada batu gamping juga merupakan penunjuk pada distribusi invertebrata penghasil karbonat sepanjang waktu geologi.
3). Lumpur Karbonat atau Mikrit
Mikrit merupakan matriks yang biasanya berwarna gelap. Pada batu gamping hadir sebagai butir yang sangat halus. Mikrit memiliki ukuran butir kurang dari 4 mikrometer. Pada studi mikroskop elektron menunjukkan bahwa mikrit tidak homogen dan menunjukkan adanya ukuran kasar sampai halus dengan batas antara kristal yang berbentuk planar, melengkung, bergerigi ataupun tidak teratur. Mikrit dapat mengalami alterasi dan dapat tergantikan oleh mozaik mikrospar yang kasar.
4). Semen
Semen terdiri atas material halus yang menjadi pengikat antarbutiran dan mengisi rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks. Semen dapat berupa kalsit, silika, oksida besi ataupun sulfat.
Pembentukan batuan karbonat di dasar laut dapat mencapai ukuran yang sangat luas dengan ketebalan batuan yang tersingkap di daratan dapat mencapai dua kilomater. Batuan karbonat ini muncul di atas permukaan laut berupa bukit atau gunung, setelah mengalami pengangkatan melalui proses tektonik, baik secara epirogenesis, orogenesis, dalam bentuk pelipatan maupun patahan.
Proses Pengangkatan dan Pembentukan ekosistem hutan Bukit Kapur
Pembentukan topografi atau bentang alam seperti pegunungan disebabkan oleh proses pengangkatan karena adanya pengaruh gaya geologi (Katili dan Marks, 1969). Gaya geologi yang bekerja tersebut mempengaruhi perubahan muka bumi baik bersifat membangun (konstruktif) maupun merusak (destruktif). Gaya geologi ini dapat berasal dari dalam bumi (tenaga endogen) atau berasal dari luar bumi (tenaga eksogen).
Tenaga endogen adalah gaya yang bekerja dari dalam bumi, yang merupakan kekuatan pergerakan bumi (diastropisme) yang berlangsung sangat lambat namun kekuatannya sangat hebat. Tenaga ini mengakibatkan terbentuknya bentang alam (perubahan muka bumi) melalui proses orogenesa, vulkanisma dan tektonika.
Tektonisme adalah proses pergerakan atau pergeseran pada kerak bumi (kerak batuan dan kerak samudera) dalam bentuk tumbukan, pemekaran, dan perpapasan yang menimbulkan perubahan muka bumi seperti bentuk pegunungan, perbukitan, lembah-lembah, lipatan-lipatan dan retakan atau patahan (Katili dan Marks, 1969). Proses tektonisme juga menyebabkan terjadinya berbagai fenomena geologi seperti gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. Proses tektonisme dibedakan atas dua bagian, yakni epirogenetik dan orogenetik.
Epirogenetik adalah pengangkatan dan penurunan kontinen atau subkontinen, yakni gerak yang dapat menyebabkan permukaan bumi turun atau naik. Pergerakan turun atau naiknya permukaan bumi ini berlangsung dalam waktu yang lambat dan meliputi daerah yang luas. Gerak epirogenetik dapat berupa gerak epirogenetik positif dan gerak epirogenetik negatif. Gerak epirogenetik positif adalah gerakan permukaan bumi ke arah menurun sehingga seolah-olah permukaan air laut naik, sedangkan gerak epirogenetik negatif adalah gerak permukaan bumi ke arah naik sehingga seolah-olah permukaan air laut turun.
Orogenesa (orogenesis) merupakan proses pembentukan pegunungan akibat pengaruh gaya endogen yang berupa tekanan/tumbukan (horisontal) dan pengangkatan (vertikal) se¬hingga terbentuk pegunungan lipatan maupun pegunungan patahan.
[Ekosistem hutan bukit kapur] Lipatan adalah gerakan pada lapisan bumi yang tidak terlalu besar dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan lapisan kulit bumi berkerut atau melipat. Kerutan atau lipatan bumi inilah yang nantinya akan menjadi pegunungan lipatan. Punggung lipatan dinamakan antiklinal, daerah lembah dinamakan sinklinal, dan sinklinal yang terbentuk sangat luas dinamakan geosinklinal. Bentuk lipatan dapat dikelompokkan ke dalam lipatan tegak, miring, rebah, menggantung, isoklin dan kelopak. contoh hasil pelipatan batuan permukaan bumi yang memperlihatkan skema proses pembentukan pegunungan akibat gaya eksogen.
Pada hal batuan karbonat tersebut sebelumnya hanya berada di lapisan ketiga. Itulah sebabnya batuan karbonat formasi Tonasa misalnya, tidak seluruhnya lerlihat di atas permukaan, tetapi muncul berupa singkapan di beberapa tempat, seperti Area Barra, Segeri, Pangkajene (dikenal dengan kars Maros-Pangkep) dan Jeneponto.
Gerakan pada lapisan bumi yang sangat besar dan berlangsung dalam waktu yang sangat cepat, akan menyebabkan lapisan kulit bumi retak atau patah. Bagian muka bumi yang mengalami patahan dan terangkat ke atas disebut horst, sedangkan bagian patahan yang mengalami penurunan disebut graben.
Batuan yang mengalami patahan akan menyebabkan terbentuknya topografi secara langsung walaupun belum dipengaruhi oleh gaya eksogen, sebagai akibat adanya peng¬angkatan atau penurunan. Graben akan membentuk lembah, sedangkan horst akan membentuk puncak gunung.
Proses patahan pada ekosistem hutan bukit kapur juga akan menyebabkan tersingkapnya batuan yang dahulunya berada di lapisan bawah. Juga memperlihatkan bagaimana sebagian batuan pada lapisan kedua (putih) dan lapisan ketiga (berada di bawah lapisan putih) mengalami singkapan pada daerah patahan yang telah mengalami pengangkatan.
[Ekosistem hutan bukit kapur] Setelah proses pelipatan maupun patahan terbentuk, selanjutnya akan dipengaruhi oleh gaya eksogen, yakni gaya yang bekerja pada kulit bumi yang berasal dari luar bu¬mi sebagai akibat adanya aktivitas atmosfer, hidrosfer, dan biosfer. Gaya ini mengakibatkan perusakan atau perombakan muka bumi melalui proses pelapukan, erosi, tanah longsor, dan sebagainya. Akibat pengaruh gaya eksogen dalam waktu yang lama, pegunungan lipatan dan pegunungan patahan menemukan bentuknya yang sempuma.
Katili dan Marks (1969) menjelaskan bahwa kenampakan morfologi pegunungan lipatan sangat berbeda dengan ke¬nampakan morfologi pegunungan patahan. Pegunungan li¬patan umumnya berbukit-bukit terjal, dengan lembah-lembah yang panjang. Pegunungan lipatan juga dicirikan oleh adanya perulangan antara lembah lebar dan lembah sempit akibat perbedaan kekerasan batuan, serta adanya gawir terjal dan pegunungan landai pada hogbacks atau homoclinal ridges.
Sketsa Morfologi Pegunungan Lipatan (Katili dan Marks, 1969)
Pada pegunungan patahan, gawir-gawir terjal yang me¬misahkan antara satu blok pegunungan dengan blok yang lain atau antara blok pegunungan dengan blok lembah sangat jelas pada fase awal. Umumnya bidang gawir tajam relatif rata, belum tersayat oleh lembah-lembah. Bentuk blok dapat persegi, berundak, atau membaji. Pada tahapan dewasa terlihat adanya pengikisan pada bagian muka atau punggungan blok dengan beberapa kenampakan bagian muka dari blok masih lebih terjal daripada bagian punggung, serta masih terlihat adanya kelurusan garis dasar sesar.
Batuan karbonat yang tersingkap di permukaan setelah melalui proses pengangkatan dan kemudian menjadi perbukitan kapur, mempunyai karakteristik topografi yang khas, yakni mempunyai kelerengan yang terjal serta relief dan drainase yang spesifik sebagai akibat derajat proses pelarutan batuannya (karsifikasi) yang lebih besar dibandingkan dengan derajat pelarutan pada batuan bukan karbonat (Sumarja, 1999). Itulah sebabnya kenampakan morfologi perbukitan kapur sangat berbeda dengan kenampakan morfologi perbukitan lainnya yang batuannya bukan kapur.
Menurut Anwar dkk (1984), ada dua tipe perbukitan ka¬pur yang bisa ditemui terungkap di permukaan, yakni perbukitan kapur berbentuk “tower” atau “menara” seperti yang ada di wilayah kars Maros-Pangkep, dan perbu¬kitan kapur berbentuk “kokpit” seperti perbukitan kapur yang ditemukan di Bohol, Filipina atau perbukitan kapur yang ada di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Karsifikasi Batuan Karbonat [Ekosistem hutan bukit kapur]
Batuan kapur yang telah terangkat menjadi bukit kapur selanjutnya akan mendapat pengaruh dari faktor eksternal (eksogen) seperti air hujan dan gas carbon, yang dikenal dengan istilah karsifikasi. Hasil proses karsifikasi berupa ben¬tang alam kars. Istilah kars dipakai untuk suatu kawasan ba¬tu gamping (limestone) yang telah mengalami pelarutan sehingga menimbulkan relief dan pola pengaliran yang khas. Hal ini dicirikan oleh kerja interaksi antara proses geokimia dan kehadiran atmosfer, biosfer, serta hidrosfer.Karsifikasi adalah proses pelarutan dan erosi mineral karbonat pada batuan kapur, sehingga terbentuk morfologi/ bentang alam yang khas yang biasa disebut morfologi kars. Proses ini merupakan proses diagenesis pada lingkungan diagenetik meteorik vedosa. Ada dua hal pokok yang berpengaruh dalam pembentukan morfologi kars, yakni kehilangan CaC03 akibat pelarutan dan keluamya CaC03 oleh erosi mekanik.
Hal tersebut di atas menggambarkan bahwa pembentukan kars 'ekosistem hutan bukit kapur' umumnya disebabkan oleh pelarutan batuan yang tersusun oleh mineral-mineral yang meta stabil. Setelah menga¬lami pelarutan, proses selanjutnya adalah terjadinya migrasi ion dalam bentuk erosi sehingga meninggalkan pori yang lama kelamaan akan menjadi besar, dan pada akhirnya menjadi gua. Proses ini terjadi jika batuan yang mengalami karsifikasi dalam keadaan tidak jenuh oleh unsur yang melarutkannya, dalam hal ini air hujan yang membawa C02 dari udara.
Whitten dkk (1987) dan Vermeulen and Whitten (1999) menyatakan bahwa topografi kars merupakan batuan karbonat (CaC03 atau MgC03) atau campuran dari keduanya, yang telah mengalami proses pelarutan oleh C02 atmosfir melalui air hujan, maupun C02 biogenik yang berasal dari sisa tanaman atau humus. Pada umumnya topografi kars dicirikan oldi morfologi yang khas, yaitu berupa kumpulan perbukitan yang tingginya ± 300 m, dinding bertebing tegak terpisah-pisah dengan sisi-sisi yang terjal (60-900) bertekstur kasar, mempunyai retakan-retakan hingga rongga-rongga (sink ho- les), gua-gua (caves) dan biasanya membentuk aliran sungai di bawah tanah serta mata air.
Menurut Esteban and Klappa (1983), karakteristik kars 'ekosistem hutan bukit kapur' dapat dikenali dari kenampakan permukaannya yang berupa Lavies, dolina, dan poljes, sedangkan kenampakan bawah permukaan dalam bentuk pori, gua, vug, dan saluran di dalam gua, terdapat speleotem dalam bentuk stalagtit, stalagmit. flowstone, rimstone, giobulit, cave pearis/mutiara gua, lily pad, helictit dan moon-like, serta adanya collapse struktur (runtuhan) sebagai akibat hilangnya bagian bawah tubuh batuan.
Secara vertikal, tubuh kars dapat dibagi dalam dua lapisan atau zona (Esteban and Klappa, 1983), yakni:
a) Zona Inviltrasi (Upper Vadosa Zone), dicirikan oleh permukaan bentang alam dengan atau tanpa penutup tanah (pada batuan karbonat yang biasanya ditutupi oleh algae), protosoil, dan oleh perkembangan gua secara vertikal. Kebanyakan speloterm mempunyai kristal dalam ukuran halus (moon-like) akibat korosi dan pengikisan yang intensif terhadap dinding batuan. Kenampakan moon-like ini disebabkan oleh kristal-kristalnya dalam ukuran kecil seperti jarum (needlefiber) dengan komposisi low magnesian kalsit (LMC). Hasil akhir dari zona ini adalah akumulasi pada dinding dan lantai gua berupa endapan-endapan bersifat kapur berwama putih, ukuran halus yang ditumbuhi oleh fungi dan bakteri. Proses yang dominan pada zona ini adalah physicochemical dissolution, bioerosion akibat kegiatan organik yang intensif serta collapse breccia yang melimpah hingga kedalaman 20 meter.
b) Zone Perkolasi (Lower Vadosa Zone), dicirikan oleh pergerakan vertikal air, sedikit dissolusi kecuali pada daerah bawah sinkhole, ditutupi oleh tanah yang tipis dan rekahan terbuka.
Proses Karsifikasi
Ada dua faktor yang mengontrol proses karsifikasi untuk membentuk topografi kars 'ekosistem hutan bukit kapur', yakni (1) faktor luar (extrinsic) yang meliputi iklim (curah hujan, evaporasi, temperatur), gaya leklonik, vegetasi/organisme dan waktu; (2) faktor dalam (intrinsic) meliputi litologi dan komposisi mineral, pabric dan tekstur, permeabilitas, rekahan, dan porositas.
1) Faktor Luar (extrinsic) [Ekosistem hutan bukit kapur]
a. Iklim
Iklim adalah faktor extrinsic yang paling dominan dalam mempengaruhi perkembangan kars 'ekosistem hutan bukit kapur'. Faktor iklim yang paling berperan dalam proses ini adalah air hujan. Hal ini terbukti pada kars yang berkembang baik pada daerah tropik dengan email hujan dan kelembaban yang tinggi, serta bervegetasi lebat. Air sebagai media pelarut, ditambah dengan temperatur yang tinggi akan memudahkan batuan karbonat untuk melarut. Ford (1988) menjelaskan bahwa air hujan yang mempunyai pH antara 5,5 - 9,5 merupakan angka yang dapat melarutkan kalsit dan dolomit. Secara sederhana, reaksi yang terjadi antara air murni dengan CaC03 adalah
CaC03 + H20 4 ↔ Ca2+ + HC03 + OH
Reaksi ini seimbang dengan 12-15 mg/1 CaC03 dalam larutan tersebut. Namun demikian, perlu diketahui bahwa udara yang dilewati oleh air hujan sebelum menyentuh permukaan haluan mengandung C02. Hal ini menghasilkan asam karbonik yang akan mempercepat pelepasan proton sehingga reaksi menjadi
3 CO2 (terlarut) + H2O ↔ H+ + HCO3
Jika larutan ini jatuh ke permukaan batu gamping (CaCO3), maka reaksinya akan menjadi:
CaC03+C02(terlarut) + H20 ↔ Ca2+ + 2HCO3
b. Tektonisme
Tektonik sebagai penyebab terangkatnya suatu tubuh batuan ke atas permukaan laut, memegang peranan penting dalam proses pembentukan kars. Dengan terangkatnya batuan karbonat dari dasar laut ke daratan, maka proses diagenesis oleh air hujan dimulai. Akibat gaya tektonik, akan membentuk struktur batuan berupa rekahan dan/atau patahan. Struktur tersebut akan mempertinggi permeabilitas dan porositas batuan yang selanjutnya akan menjadi media pengaliran air masuk ke dalam tubuh batuan dan pada akhimya akan mempertinggi tingkat pelarutan. Jika air hujan tersebut jatuh pada rekahan yang merupakan media yang baik untuk penyaluran air hujan, maka hal ini akan mempermudah melarutkan mineral di sekitamya. Pada daerah-daerah seperti ini proses alterasi berjalan dengan cepat yang memungkinkan terbentuknya sinkhole (dolina) dan collapse brecias (runtuhan batuan) dengan baik. Duration of exposure (lamanya waktu tersingkap) dari batuan karbonat juga memegang peranan terhadap proses perkembangan kars. Semakin lama batuan tersebut tersingkap, maka semakin intens proses diagenesa yang terjadi dan akan menuju pada proses maturasi kars 'ekosistem hutan bukit kapur'.
c. Vegetasi
Vegetasi dan organisme hewan juga mempunyai peranan yang besar dalam proses karsifikasi batuan karbonat sehingga berkembang menjadi kars. Vegetasi berperan dalam proses karsifikasi batu gamping karena pelapukan bahan organik dari tumbuhan dan hewan, akan menghasilkan asam organik yang mampu melakukan pelarutan kimiawi terhadap mineral kalsium setelah bercampur dengan air hujan, sehingga per¬kembangan gua dan ornamennya terus berlangsung (Ko, 2006).
Semakin lebat suatu tutupan vegetasi, peranannya terhadap proses karsifikasi semakin besar sebagai akibat dari produksi bahan organik yang menghasilkan asam lemah. Hal ini dapat terlihat hahwa proses karsifikasi yang sempuma umumnya terjadi pada daerah tropik yang mempunyai tutupan vegetasi yang lebat akibat curah hujan yang tinggi.
2) Faktor Dalam (intrinsic) [Ekosistem hutan bukit kapur]
a. Litologi dan Komposisi Mineral
Litolologi atau yang lebih spesifik yakni fasies merupakan kontrol solubilitas yang penting pada batuan karbonat. Fasies yang disusun oleh komponen dari organisme akan memberikan perbedaan komposisi mineral dalam batuan dibandingkan dengan fasies yang disusun oleh komponen yang bukan berasal dari organisme. Minerologi butiran dan minerologi organisme berbeda antara satu dengan yang lainnya. Koral yang mempunyai minerologi aragonit mempunyai tingkat solubilitas yang relatif tinggi dibanding dengan alga merah yang mempunyai minerologi kalsit.
b. Pabric dan Tekstur
Pabrik dan tekstur berhubungan langsung dengan porositas dan permeabilitas. Pergerakan air dalam batuan tergantung bagaimana kondisi permeabilitas dan porositas batuan. Interconected porosity mempunyai kemungkinan melarutkan komponen bagian dalam batuan lebih tinggi dibanding dengan isolated porosity. Batuan yang mempunyai permeabilitas yang tinggi kemungkinan akan terkarsifikasi lebih baik dengan batuan yang rendah permeabilitasnya.
c. Permeabilitas
Permeabilitas merupakan efisiensi batuan untuk menyalurkan air. Permeabilitas primer adalah kemampuan batuan untuk menyalurkan air melalui pori-pori atau ruangan intergranuler yang sudah ada sejak pembentukannya dan saling berhubungan. Permeabilitas sekunder bila penyaluran air itu melewati ruangan-ruangan yang timbul kemudian, seperti joint, bedding, fault, misalnya akibat gerakan tektonik.
Suatu kawasan kars 'ekosistem hutan bukit kapur', permeabilitas dan porositas ini sangat variabel, karena tidak terlepas dari keanekaragaman struktur dan diagenesis batu gamping. Pada bagian batu gamping yang telah mengalami karsifikasi, biasanya permeabilitas dan porositas primemya rendah, tetapi permeabilitas dan porositas sekundemya tinggi. Pada batu gamping tidak mengalami karsifikasi, permeabilitas dan porositas tinggi dan tidak dijumpai permeabilitas sekunder.
Pada batu gamping terdapat aliran difusi (diffuse flow). Pada batuan karbonat yang telah mengalami karsifikasi, yang menonjol ialah terbentuknya saluran-saluran terpilih (prefered channels) yang meluruskan air ke arah local base level atau zona phreatik. Permeabilitas umumnya dinyatakan dengan jarak yang ditempuh air dalam suatu permeabilitas tertentu dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan.
d. Rekahan
Rekahan pada batuan karbonat merupakan tempat mengalirnya air dan jika terjadi terus-menerus akan menjadi jalan bagi pengaliran dalam batuan karbonat (Erdelyi & Galfi, 1988). Selanjutnya rekahan dapat membesar oleh pelarutan sehingga permeabilitasnya juga dapat meningkat.
e. Porositas
Porositas menunjukkan ruangan yang terisi oleh udara atau air dalam batuan atau sedimen, diungkapkan dalam persen dari jumlah total material. Untuk kepentingan hidrologi yang perlu diperhatikan ialah ruangan-ruangan yang saling berhubugan, karena pori-pori yang terisolasi tidak berperan dalam perpindahan air.
Porositas primer dalam batuan karbonat ialah ruangan-ruangan terbuka dalam batuan tersebut, yang sudah timbul sejak deposisi, di agenesis, dan litifikasi. Porositas sekunder ialah jumlah ruangan terbuka dalam batuan yang ditimbulkan oleh proses pasca litifikasi seperti fruktuasi (joint, flauts, parting) atau akibat terjadinya pelarutan (solution cavities). Semakin besar porositas suatu batuan karbonat, maka proses inflitrasi masuk ke dalam tubuh batuan juga semakin besar, sehingga mempengaruhi kecepatan pelarutan mineral karbonat pada dinding pori
[Ekosistem Hutan Bukit Kapur] Kawasan Kars Maros Pangkep
Areal ekosistem hutan bukit kapur di kawasan kars Maros-Pangkep termasuk ke dalam kelompok batuan karbonat Formasi Tonasa. Menurut Wilson et al. (2000), formasi ini hanya terletak di bagian Selatan dari Depressi Tempe dan umumnya berada di bagian Barat dari Depressi Walanae. Formasi tonasa yang muncul sebagai singkapan terdiri atas lima lokasi, yakni Area Barru, Area Segeri, Area Pangkajenne, Area Pegunungan Ba¬gian Barat dan Area Jeneponto.Formasi Tonasa yang berumur Eocene sampai Miocene awal atau 56-18 juta tahun yang lalu, terdiri atas: (1) batu gamping koral pejal, sebagian terhablurkan, berwama putih dan kelabu muda, (2) batu gamping bioklastika dan kalkarenit, berwama putih, co¬klat muda dan kelabu muda (3) batu gamping berlapis, sebagian banyak mengandung foraminifera besar (Sukamto,1982; Yuswono dkk, 1985).
Hasil rekonstruksi Wil¬son et al. (2000), menunjukkan bahwa pada bagian Utara (Tonasa II) dan bagian Selatan (Pattunuang Asues) dari area Pangkajenne semasa pembentukannya di bawah laut dangkal merupakan wilayah yang mempunyai kondisi dengan energi yang rendah sampai sedang dengan kedalaman yang dangkal sampai sedang pada zone photic. Hal ini dicirikan oleh dominannya fasies mudstone dan wackestone yang saat ini menduduki areal tersebut.
Sebaliknya pada bagian tengah (Tonasa I) mempunyai kondisi dengan energi yang sedang sampai tinggi, yang saat ini dicirikan oleh kehadiran fasies batuan karbonat. yang didominasi oleh grainstones dan packstones di wilayah tersebut, yang dikelompokkan ke dalam fasies batuan karbonat berlapis dan meta gamping.
Sumber: Buku Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur Oleh Prof. Amran Achmad., Brillian Internasional.
Demikianlah artikel ekosistem hutan bukit kapur yang bisa dibagikan pada postingan kali ini, semoga bermanfaat dan dapat membantu pembaca sekalian. Terima kasih, Salam belajar dan tetap ikuti http://www.sistempengetahuansosial.com/