LARA JONGGRANG Dewa Agama Hindu di Indonesia
Kali ini dalam sistem pengetahuan sosial, kita akan mempelajari tentang lara jonggrang dewa agama hindu di indonesia. kami berharap semoga informasi ini dapat berguna dan bermanfaat untuk pembaca. Maka dari itu selamat menyimak artikel lara jonggrang dewa agama hindu di indonesia dibawah ini.
Dekat candi prambanan, diantaranya Jogjakarta dan Surakarta, ada kumpulan bangunan-bangunan suci, besar dan kecil. Biasanya disebut candi Lara jonggrang, artinya gadis yang ramping. Itulah nama yang diberikan oleh penduduk disitu kepada arca batu yang berupa orang perempuan, yang ada dalam salah satu candi diantara bangunan-bangunan tersebut. Bahkan mereka dapat mendongengkan, bahwa patung itu mula-mula sebenarnya seorang puteri, yang berubah menjadi batu karena bengisnya.
Dongeng-dongeng semacam itu disiarkan orang, ketika orang tidak paham lagi, apakah sesungguhnya maksud dan arti candi-candi itu. Candi-candi tadi memang sudah amat tua, karena didirikan pada waktu orang Hindu memerintah di Mataram. Didalamnya antara lain terdapat arca the Trimurti Hinduism, yaitu ketiga dewa dewa Hindu, dewa tertinggi agama hindu.
Adapun arca yang sekarang disebut Lara jonggrang itu sebenarnya arca dewi Durga, yakni istri dewa Syiwa. Baik dewi Durga maupun dewa Syiwa, keduanya sangat ditakuti orang. Durga dinamai juga ,,dewi yang tidak terdekati’’. Nama itu tidak mengherankan, karena penduduk mengira, bahwa ia seorang puteri yang bengis. Ia menjadi batu karena bengisnya. Dahulu kala orang yang beragama Hindu sering menyajikan kurban berupa kambing kepada Durga untuk menyenangkan hatinya. Sekarang kadang-kadang ada juga orang Jawa yang masih mengurbankan anak kambing kepada patung dewi yang tak terdekati itu. Sampai sekarangpun masih ada orang yang takut, kalau-kalu kekejamannya menyebabkan hasil bumi tidak menjadi, atau penyakit akan bercabul diantara orang atau ternak. Demikianlah meresapnya pengaruh kepercayaan agama Hindu kepada bangsa Jawa. [Lara jonggrang dewa agama hindu di indonesia]
Adapun kuil Lara jonggrang itu sesungguhnya candi, artinya tempat pemakaman. Di dalam candi itu ada beberapa lubang untuk menyimpan abu jenasah. Sebab mayat pemeluk agama Hindu bukannya ditanam, melainkan dibakar. Ketika Balitung, raja Mataram meninggal pada tahun 915 M., penggantinya bernama Daksa, memutuskan mendirikan beberapa bangunan yang indah-indah. Bangunan-bangunan itu untuk menyimpan abu jenasah baginda Balitung beserta keluarganya dan pembesar-pembesar kerajaan yang tertinggi di Mataram.
Dalam candi-candi tersebut didirikan juga berbagai arca dewa dewa hindu. Menurut paham pemeluk agama Hindu raja-raja yang abunya telah disimpan itu, hidup kembali didunia ini sebagai dewa. Sebab pemeluk agama Hindu percaya, bahwa dewa-dewa itu tiap-tiap kali turun kedunia berupa raja atau keluarga raja. Berhubung dengan kepercayaan itu, seorang raja misalnya disamakan dengan Syiwa, dan permaisurinya disamakan dengan Durga. Berkurban dalam candi, yaitu menyajikan kurban dimakam-makam raja, berarti berkurban kepada dewa-dewa itu juga. Oleh karena itu Daksa, yang mendirikan candi yang indah untuk raja yang digantikannya itu, bukannya menghormati raja itu semata-mata, melainkan juga untuk menunjukkan khidmatnya kepada dewa-dewanya. Perbuatan yang saleh itu membangkitkan rasa kasih sayang dewa kepada raja serta rakyatnya. Oleh karena itu maka kerajaan Mataram menjadi sentosa dan makmur. Makin indah candi itu, makin banyak karunia yang dilimpahkan oleh dewa-dewa kepada manusia. Itulah arti bangunan-bangunan yang semahal itu, yang didirikan atas perintah baginda Daksa.
Pada zaman raja Daksa, rupa-rupanya kerajaan Mataram mengalami kemakmuran. Mendirikan candi-candi disekitar Prambanan itu makan waktu kurang-kurangnya 10 tahun. Biasanya tentu amat banyak. Pikirkanlah berapa upah untuk pekerja-pekerja selama 10 tahun itu. Lain dari pada itu mencari batupun amat sukar. Untuk ramuan rumah biasa orang memakai kayu dan bambu. Hanya untuk bangunan-bangunan suci seperti candi Lara jonggrang baru orang memakai banyak batu. Menghiasi candi itupun makan banyak waktu dan banyak tenaga. Pada dinding luar candi tadi terlihat berbagai lukisan pahatan, yang menceritakan hikayat seri Rama. Seorang raja raksasa melarikan dan menawan permaisuri Rama. Setelah lama berjuang dan menderita baru Rama dapat merebut istrinya kembali. Dalam perjuangan itu ia dibantu oleh tentara kera yang dipimpin oleh raja Sugriwa dan pahlawan Hanuman. Hikayat itu tertulis dalam buku dalam bahasa Sangsekerta bernama Ramajana. Kemudian hikayat itu dipahatkan oleh ahli-ahli seni, seperti kita sekarang ini menghiasi buku-buku kita.
Oleh karena orang amat sukar mencari batu dan batu itu hampir semata-mata dipakai untuk mendirikan candi, maka dari pada bangun-bangunan dari zaman Hindu hanya candi-candi itulah yang masih ada sekarang. Bangunan-bangunan yang lain sepanjang masa masa yang berabad-abad itu sudah musnah. Demikianlah juga bangunan-bangunan suci, yang hanya dipakai untuk memuja dewa-dewa hindu.
Bangunan suci semacam itu berupa sebidang tanah yang bertembok. Di dalamnya ada beberapa kecil yang diperbuat dari kayu. Disetiap desa ada rumah suci serupa itu. Penduduk desa membawa kurban kerumah itu diperciki dengan air suci oleh pendeta sambil mengucapkan beberapa mantera. Apabila tidak begitu, kurban tadi tidak berguna sama sekali, karena masih cemar. Air suci itulah yang dapat mensucikan kurban tadi. Betapa orang menghargai air suci itu. Karena mengandung kekuatannya yang menyucikan, kini masih dapat kita saksikan dipulau Bali. Jika dalam suatu upacara agama pendeta memercikkan air suci, orang-orang yang melihat berusaha menampungnya sebanyak-banyaknya.
Hanya pendetalah yang pandai membuat air suci itu. Hanya pendetalah yang paham tentang mantera-mantera yang harus diucapkan dan gerak-gerik tangan yang harus dilakukan pada waktu membuat air suci itu. Pendapatan pendeta-pendeta itu kebanyakan diperolehnya dari penjualan air suci kepada rakyat.
Sekian artikel tentang lara jonggrang dewa agama hindu di indonesia. Terima kasih, dan tetap ikuti kami di http://www.sistempengetahuansosial.com/.
Dongeng-dongeng semacam itu disiarkan orang, ketika orang tidak paham lagi, apakah sesungguhnya maksud dan arti candi-candi itu. Candi-candi tadi memang sudah amat tua, karena didirikan pada waktu orang Hindu memerintah di Mataram. Didalamnya antara lain terdapat arca the Trimurti Hinduism, yaitu ketiga dewa dewa Hindu, dewa tertinggi agama hindu.
Adapun arca yang sekarang disebut Lara jonggrang itu sebenarnya arca dewi Durga, yakni istri dewa Syiwa. Baik dewi Durga maupun dewa Syiwa, keduanya sangat ditakuti orang. Durga dinamai juga ,,dewi yang tidak terdekati’’. Nama itu tidak mengherankan, karena penduduk mengira, bahwa ia seorang puteri yang bengis. Ia menjadi batu karena bengisnya. Dahulu kala orang yang beragama Hindu sering menyajikan kurban berupa kambing kepada Durga untuk menyenangkan hatinya. Sekarang kadang-kadang ada juga orang Jawa yang masih mengurbankan anak kambing kepada patung dewi yang tak terdekati itu. Sampai sekarangpun masih ada orang yang takut, kalau-kalu kekejamannya menyebabkan hasil bumi tidak menjadi, atau penyakit akan bercabul diantara orang atau ternak. Demikianlah meresapnya pengaruh kepercayaan agama Hindu kepada bangsa Jawa. [Lara jonggrang dewa agama hindu di indonesia]
Adapun kuil Lara jonggrang itu sesungguhnya candi, artinya tempat pemakaman. Di dalam candi itu ada beberapa lubang untuk menyimpan abu jenasah. Sebab mayat pemeluk agama Hindu bukannya ditanam, melainkan dibakar. Ketika Balitung, raja Mataram meninggal pada tahun 915 M., penggantinya bernama Daksa, memutuskan mendirikan beberapa bangunan yang indah-indah. Bangunan-bangunan itu untuk menyimpan abu jenasah baginda Balitung beserta keluarganya dan pembesar-pembesar kerajaan yang tertinggi di Mataram.
Dalam candi-candi tersebut didirikan juga berbagai arca dewa dewa hindu. Menurut paham pemeluk agama Hindu raja-raja yang abunya telah disimpan itu, hidup kembali didunia ini sebagai dewa. Sebab pemeluk agama Hindu percaya, bahwa dewa-dewa itu tiap-tiap kali turun kedunia berupa raja atau keluarga raja. Berhubung dengan kepercayaan itu, seorang raja misalnya disamakan dengan Syiwa, dan permaisurinya disamakan dengan Durga. Berkurban dalam candi, yaitu menyajikan kurban dimakam-makam raja, berarti berkurban kepada dewa-dewa itu juga. Oleh karena itu Daksa, yang mendirikan candi yang indah untuk raja yang digantikannya itu, bukannya menghormati raja itu semata-mata, melainkan juga untuk menunjukkan khidmatnya kepada dewa-dewanya. Perbuatan yang saleh itu membangkitkan rasa kasih sayang dewa kepada raja serta rakyatnya. Oleh karena itu maka kerajaan Mataram menjadi sentosa dan makmur. Makin indah candi itu, makin banyak karunia yang dilimpahkan oleh dewa-dewa kepada manusia. Itulah arti bangunan-bangunan yang semahal itu, yang didirikan atas perintah baginda Daksa.
Pada zaman raja Daksa, rupa-rupanya kerajaan Mataram mengalami kemakmuran. Mendirikan candi-candi disekitar Prambanan itu makan waktu kurang-kurangnya 10 tahun. Biasanya tentu amat banyak. Pikirkanlah berapa upah untuk pekerja-pekerja selama 10 tahun itu. Lain dari pada itu mencari batupun amat sukar. Untuk ramuan rumah biasa orang memakai kayu dan bambu. Hanya untuk bangunan-bangunan suci seperti candi Lara jonggrang baru orang memakai banyak batu. Menghiasi candi itupun makan banyak waktu dan banyak tenaga. Pada dinding luar candi tadi terlihat berbagai lukisan pahatan, yang menceritakan hikayat seri Rama. Seorang raja raksasa melarikan dan menawan permaisuri Rama. Setelah lama berjuang dan menderita baru Rama dapat merebut istrinya kembali. Dalam perjuangan itu ia dibantu oleh tentara kera yang dipimpin oleh raja Sugriwa dan pahlawan Hanuman. Hikayat itu tertulis dalam buku dalam bahasa Sangsekerta bernama Ramajana. Kemudian hikayat itu dipahatkan oleh ahli-ahli seni, seperti kita sekarang ini menghiasi buku-buku kita.
Oleh karena orang amat sukar mencari batu dan batu itu hampir semata-mata dipakai untuk mendirikan candi, maka dari pada bangun-bangunan dari zaman Hindu hanya candi-candi itulah yang masih ada sekarang. Bangunan-bangunan yang lain sepanjang masa masa yang berabad-abad itu sudah musnah. Demikianlah juga bangunan-bangunan suci, yang hanya dipakai untuk memuja dewa-dewa hindu.
Bangunan suci semacam itu berupa sebidang tanah yang bertembok. Di dalamnya ada beberapa kecil yang diperbuat dari kayu. Disetiap desa ada rumah suci serupa itu. Penduduk desa membawa kurban kerumah itu diperciki dengan air suci oleh pendeta sambil mengucapkan beberapa mantera. Apabila tidak begitu, kurban tadi tidak berguna sama sekali, karena masih cemar. Air suci itulah yang dapat mensucikan kurban tadi. Betapa orang menghargai air suci itu. Karena mengandung kekuatannya yang menyucikan, kini masih dapat kita saksikan dipulau Bali. Jika dalam suatu upacara agama pendeta memercikkan air suci, orang-orang yang melihat berusaha menampungnya sebanyak-banyaknya.
Hanya pendetalah yang pandai membuat air suci itu. Hanya pendetalah yang paham tentang mantera-mantera yang harus diucapkan dan gerak-gerik tangan yang harus dilakukan pada waktu membuat air suci itu. Pendapatan pendeta-pendeta itu kebanyakan diperolehnya dari penjualan air suci kepada rakyat.
Sekian artikel tentang lara jonggrang dewa agama hindu di indonesia. Terima kasih, dan tetap ikuti kami di http://www.sistempengetahuansosial.com/.